ACER Episode 1
Lowbat part 6 bisa di klik disini
Setelah turun dari ojek, Lingside menghapiri Tar lalu memeluknya.
“Cici... Baba.. Baba..” sambil terisak-isak dan memeluk erat kakaknya, ia ingin menyampaikan sesuatu kepada kakaknya itu.
“Iya.. sabar ya..” walau sambil berkaca-kaca, Tar berusaha menguatkan adiknya.
“Baba.. Baba sudah tiada.. beberapa jam yang lalu sebelum Cici sampai.” air matanya semakin deras.
Tar berusaha menahan air matanya tapi tak bisa terbendung. Ada rasa
sesal dalam hatinya, mengapa dia terlambat pulang ke Samarinda hingga
tak sempat merawat Baba, bahkan tidak ada kesempatan sedetik saja
melihat Baba dan mengatakan rasa sayangnya kepada Baba. Terlepas dari
kesalahan masa lalunya, Baba tetaplah ayah kandungnya. Masa lalu biarlah
jadi pelajaran saja, toh sudah lama Baba bertaubat dan menyesali
perbuatannya di masa lalu. Kini yang ia lihat hanyalah sesosok tubuh
yang membujur kaku di sudut ruangan itu, dikelilingi ketiga adiknya yang
suara isak tangisnya semakin keras.
“Tidak, tidak, aku tidak boleh
terlihat lemah di depan adik-adikku. Siapa yang bisa menguatkan mereka
jika aku menangis seperti ini?” gumamnya sambil menyapu air matanya. Tar
menghampiri adik-adiknya dan berusaha menguatkan mereka. Siapa lagi
yang bisa menguatkan mereka selain dia. Tidak ada lagi yang mereka
miliki selain kakak tertuanya. Ibunya sudah tiada.
Setahun setelah
kepergian Rain ke Paris, Ga Ba Nget meninggal karena kecelakaan. Waktu
itu hati Tar bercampur aduk. Di satu sisi ia merasa benci dengan ibu
tirinya itu karena telah menjadi selingkuhan ayahnya, membuat ibu
kandungnya kabur dari rumah dan melahirkan di dalam mobil yang entah
siapa pemiliknya. Selain itu, setiap Tar berkunjung menemui keluarganya,
Ga Ba Nget selalu terlihat sinis dan tidak menyukainya. Tapi di sisi
lain, kata-kata Bak Wan selalu terngiang-ngiang bahwa ia tidak boleh
membencinya, ia harus berusaha untuk selalu menyayangi ibu tirinya.
***
Setelah penguburan selesai, empat kakak beradik itu perlahan-lahan
meninggalkan makam ayahnya. Tar selalu berusaha tersenyum hanya untuk
menyembunyikan kesedihannya di depan adik-adiknya. Sampai tiba-tiba
terdengar suara berdering dari dalam clutch cantik bernama
lowbatt-antidote pemberian Rain. Dengan tergesa-gesa, Tar membuka clutch
itu dan mengangkat teleponnya.
“Tar, gimana keadaan Baba?” suara Rain penuh perhatian. Tar diam saja.
“Tar..? Tar..? kok kamu diem aja?” tanya Rain penasaran.
“Baba udah.. Baba udah.... tuut...tuut..tuut” suara teleponnya
terputus. Lagi-lagi Handphone Tar lowbatt. Dia lupa mengganti baterai
cadangan. Wajar saja, sejak ia tiba di Samarinda, pikirannya hanya
tertuju pada Baba. Sepulang dari makam, ia langsung mengganti baterai
yang lowbatt itu dengan baterai cadangan. Beberapa menit kemudian, Rain
menelepon lagi.
“Tar.. Babamu gimana?”
“Baba baru aja dimakamkan” Jawab Tar dengan nada sedih.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un.. Aku turut berduka cita. Semoga amal ibadah Baba diterima oleh Allah SWT. Sabar ya Tar”
“Aamiin. Makasih Rain. Oiya, aku sepertinya nggak akan balik lagi ke
Jakarta. Aku mau tinggal di sini sama adik-adikku. Aku mau cari kerja di
sini.”
“Terus, gimana dengan film 3 Dasawarsa yang kamu impikan
itu? Bukannya minggu depan kamu akan teken kontrak?” Tanya Rain seolah
tidak ingin Tar selamanya di Samarinda. Ia ingin Tar kembali ke Jakarta.
Sebenarnya bukan karena Tar akan teken kontrak di film itu, tapi lebih
karena Rain tidak mau kehilangan Tar. Rain tidak mau jauh dari Tar.
“Aku udah gak peduli lagi dengan karierku sebagai artis. Aku sekarang mau fokus menjaga adik-adikku di sini”, jawab Tar tegas.
Hati Rain berkecamuk setelah menutup percakapan teleponnya dengan Tar.
Tanpa sadar air matanya meleleh di kedua pipinya. “Kenapa Tar harus
pergi dan tinggal selamanya di Samarinda? Terus gue gimana? Gue sama
siapa? Siapa yang bakal ngingetin gue shalat? Siapa yang bakal dengerin
gue curhat?” gumam Rain dalam hati. Rain masih dalam keegoisannya.
Berbeda dengan dulu, sekarang ini bukan Tar yang bergantung pada Rain,
tapi Rain yang bergantung pada Tar.
***
“Tal.. pokoknya lu halus
ketemu Ihna Jong. Oe udah tua. Oe halus bikin sulat walisan.” Dengan
nafas tersengal-sengal, Bak Wan memaksa Tar. Lalu Tar mencari rumah itu
lagi, melewati tiga pos satpam dan 3 pohon besar. Sampailah ia pada satu
rumah besar bertuliskan Ihna Jong dan bertemu dengan pria besar bernama
Lowbatere. Tiba-tiba “kriing..kriing..” bunyi handphone Tar mengagetkan
dan membangunkan Tar dari tidurnya.
“Hah..!! mimpi aneh itu lagi...” keluh Tar karena ini adalah ketiga kalinya ia bermimpi yang sama.
Sambil terkantuk-kantuk, Tar mengangkat telepon itu. “Ya ada apa Rain malem-malem gini nelpon?”
“Maaf aku ganggu tidur kamu Tar. Aku cuma mau ngasih tau kalau aku baru
sampai di Samarinda. Aku mau bikin kejutan buat kamu. Aku sekarang
nginep di hotel deket kantor pemda.” jawab Rain sambil tersenyum-senyum
memperhatikan dirinya di depan cermin dan bergumam dalam hatinya,
“hmm..ternyata gue ganteng juga dengan penampilan seperti ini...”
(bersambung...)
Tentang penulis:
Penulis masih bimbang, apa harus menggunakan nama pena “Rima Nurma”
atau “Rimakasih”. Kedua nama itu sama-sama sering digunakan dalam
berselancar di dunia maya. Tapi karena beberapa bulan lalu penulis
sempat menciptakan lagu dengan memakai nama “Rima Nurma”, kali ini nama
itu akan dipakai lagi. Ya “Rima Nurma” saja. Penulis berasal dari USA
(Urang Sunda Asli). Ia lahir dan tumbuh besar di Bandung. Punya hobi
internetan, menyanyi/karaoke-an, dengerin musik, menciptakan lagu,
membaca cerpen (pernah menulis cerpen dan berusaha menulis novel juga
tapi gak kelar-kelar), gambar-gambaran, curhat dan dengerin curhatan
orang, nonton kartun dan drama korea, serta menambah wawasan yang
berkaitan dengan dunia Islam.
Love it Aurakasih eh, Rima Nurma XP.
ReplyDeletehohoho
ReplyDeleteBaru baca euy...Thumb 4 u teRimakasih
ReplyDeleteSatu hal, jika Tar tidak bisa melanjutkan kontrak "3 dasawarsa" maka gua akan ambil alih! Sip!! ^^
Wuiii... saia jadi sutradara saja
ReplyDelete