ACER Episode 1
Lowbat part 5 bisa di klik disini
Rain
Meja makan yang
terletak di dapur itu kecil saja. Walau
mampu menampung 4 orang tapi tak pernah digunakan lebih dari mereka berdua. Rain
kecil menatap punggung mamanya yang tengah mencuci piring. Sarapannya belum
disentuhnya sedikit pun. Padahal itu adalah makanan favoritnya, omelet. Omelet
buatan mama memang tak ada duanya. Telur yang dipukul pelan dimasak dengan api
kecil memakai mentega. Kemudian potongan keju ditaburkan sesaat sebelum
disajikan. Wangi mentega dan lelehan
keju yang menggantung dekat tampak tak mengusik fokusnya. Ia ingin meyakinkan
dirinya bahwa orang tersayangnya itu baik-baik saja. Pagi tadi, tak sengaja ia
melihat mamanya menangis sambil menatap foto orang itu.
Ia tak pernah tahu
alasan kenapa orang itu pergi. Tapi mama selalu menangis. Mama tak pernah
menjelekkan orang itu. Ketika ditanya, ia hanya menjawab kalau orang itu pergi
bekerja. Namun itu bukanlah alasan yang cukup masuk akal. Mama adalah putri
tunggal dari keluarga pengusaha yang cukup berada. Oma telah lama meninggal,
sedangkan Opa, meninggal ketika Rain berusia 1 tahun. Jadi jelaslah kalau
keuangan bukan alasannya.
Mama bisa saja memilih
untuk tetap tinggal di rumah keluarganya. Tapi mama memutuskan untuk pindah ke
rumah yang lebih kecil. Rumah besar itu menyimpan terlalu banyak kenangan untuk
mama. Ia hanya ingin membesarkanku dengan tenang. Lalu jadilah rumah kecil ini
istana kami yang baru.
Tak mudah untuk
menjelaskan kondisi keluarga kami kepada tetangga yang kerap bergunjing. Kepada
mereka, mama hanya berkata kalau ia bercerai dan sekarang dibiayai orang
tuanya. Namun hidup sebagai janda tak pernah mudah. Masyarakat cenderung
menganggap rendah posisi seorang janda. Sedangkan bagi Rain kecil, sangat sulit
untuk menjadi anak yang berbeda dengan teman-teman seusia yang kerap
membanggakan papa mereka. Oleh sebab itu mama memilih untuk menutup diri dari
lingkungannya. Praktis, dunia Rain hanya diisi berdua dengan mamanya.
Dua
tahun pertama di sekolah dasar dilalui Rain dengan belajar di rumah alias home
schooling. Tapi atas dasar pertimbangan dari seorang psikolog, mama
kemudian menyekolahkannya di sekolah umum. Rain tak pernah bergaul dengan orang
lain selain mamanya. Sangat sulit bagi Rain untuk menjembatani perbedaannya
dengan teman-teman sekolahnya. Belum lagi pertanyaan tentang orang itu. Rain menjadi
anak yang pendiam dan sulit bersosialisasi. Namun ketika kelas 4 SD ia
berkenalan dengan Tar dan dunianya pun berubah.
Tardulude
Nilam nama wanita Melayu
itu. Sang ibunda memberikan nama itu agar nasib sang anak akan indah atau
mewangi. Tapi sore itu Nilam menuntut arti namanya. Suaminya, Rojali,
tertangkap berselingkuh dengan sepupu dari keluarga besar Ga. Siapa yang tidak
mengenal Ga Je Bo dan Ga Ce Bok. Juragan kembar yang menguasai bisnis penyewaan
tongkang di pelabuhan Tanjung Balai. Sakit hatinya tak terperi, terlebih
sekarang ia tengah mengandung. Pastilah karena perempuan miang itu kerap
melenggang ditempat usaha sepupunya yang juragan itu, dan menggoda para
nelayan.
Bermaksud memberi
pelajaran kepada suaminya, Nilam memutuskan kabur dari rumah. Dengan perut
buncitnya, ia hanya membawa uang sekadarnya saja karena memang tak bermaksud
kabur lama-lama. Baju telah ia titipkan ke tetangganya. Mana mungkin membawa
banyak barang kalau sedang hamil besar begini. Bisa-bisa ia sudah dipulangkan
ketika hendak keluar dari kampung nelayan ini. Cukuplah pergi sebentar dan
membuat suaminya itu kalang kabut.
“Biar tahu rasa dia…!”,
maki Nilam dalam hati. Benci betul ia pada orang Cina. Tak cukup ekonomi kampung
nelayan itu yang mereka kuasai, sekarang suaminya pun mau diambilnya.
***
Sore yang satu itu
membuat Bak Wan setengah yakin kalau Dewi Kwan Im membalas karmanya. Bagaimana pula
ceritanya, dia yang tengah jalan santai sepulang tutup toko bisa berserobok dengan
seorang perempuan Melayu bunting. Perempuan itu pucat dan jatuh terduduk di
tepi jalan. Belum-belum ia sudah ditatap curiga oleh perempuan itu.
“Ape kau tengok aje tu, Cine sengelet?! Nak
tengok aku mati ke?” maki perempuan Melayu itu.
Sigap Bak Wan membantah,
“Aih! Oe dah masok Islam, dah tak sengelet lagi”
“Ah, pandai sangat kau
cakap. Sini bantu aku!”, perintah perempuan itu tanpa ampun. Padahal
jelas-jelas Bak Wan orang asing yang lebih tua dari dirinya. Tampaknya, rasa sakit
hendak melahirkan mampu menghapus jejak sopan santun dari mulut wanita itu.
Atau jangan-jangan sejak lahir dia memang wanita penyiksa pria. Meski kesal,
tak tega pula Bak Wan melihat wanita hamil besar itu. Dengan tergopoh-gopoh,
Bak Wan menghampiri perempuan itu dan memapahnya.
Tak seperti senja
biasanya, jalanan sangat lengang tanpa ada satu pun kendaraan yang lewat. Bak
Wan mulai terengah-engah memapah wanita hamil itu, ketika akhirnya ada juga
mobil bak terbuka berbelok dari persimpangan yang berada di depan mereka.
Hampir seluwes anggota kapak merah, mereka menghadang jalan mobil itu.
“Hoi…. Tolong…! Tolong
belhenti kejab, tolong bantu ini
pelempuan. Die olang dah nak belanak na.” ratap Bak Wan memelas.
Sang sopir yang
terkejut membanting setir ke kiri, hingga nyaris saja mobilnya tergelincir ke
semak-semak yang berada di tepi jalan. Masih deg-degan, si sopir mencoba
mencerna modus pasangan aneh yang mendekati mobilnya itu. Nyaris tak percaya
kalau melihat wajah garang si perempuan, tapi tak tega melihat nafas Bak Wan yang
nyaris putus menopang tubuh penyiksanya. Jadilah mereka berdua berhimpitan
disamping pak sopir yang melirik curiga. Ah, ini pasti salah satu pasangan yang
tak direstui itu, perempuan Melayu muda dengan seorang lelaki Cina tua. Sang
sopir menebak-nebak dalam hati.
Mobil itu pun dikebut
ke rumah bidan terdekat. Tapi tak dinyana, si jabang bayi memutuskan lain.
Tampaknya tak cukup sang ibu yang saja yang membuat suasana hidup dua pria
asing itu gelap. Sang bayi ingin ikut ambil bagian pula.
“Aduuuuuuuhhh! Dah nak
kelua ni” ratap sang perempuan mencekam.
Dengan panik Bak Wan
mencoba bernegosiasi, “Tal dulu de, tal dulu de, tal dulu de. Loe tahan sikit
lagi.”
Sang sopir yang ngebut -dengan
keringat yang bercucuran segede-gede jagung- berpikir dengan membagi fokusnya
antara menendang para penumpang barunya dan menemukan bidan secepatnya.
Akhirnya pertolongan itu pun datang. Sebuah rumah bercat putih dengan palang
bertuliskan Bidan Royani.
Tepat ketika mobil itu
direm, pecah jerit histeris Bak Wan. Jeritan tinggi yang mengiris dan membuat
bulu kuduk berdiri. Selamanya jerit itu akan menghantui sang sopir. Rupanya
sang jabang bayi telah lahir. Beruntung Bak Wan segera menyambut bayi itu
sebelum melecat kekolong mobil.
Dengan terisak menahan
ngeri, Bak Wan complain, “Oe kan udah bilang, tal dulu de…”
Hampir seperti terbang,
sang sopir membuka pintu mobil dan menyerbu masuk mencari sang Bidan. Ibu dan
bayi tersebut dibawa masuk setelah ari-ari bayi dipotong. Namun malang tak
dapat ditolak, perempuan Melayu yang ternyata penderita darah tinggi itu mengalami pendarahan yang cukup berat sehingga
tidak dapat diselamatkan.
***
Sungguh sedih hati
Rojali yang mengetahui istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama
mereka. Tapi itulah yang didapatnya karena berani bermain api. Ketika
perselingkuhannya terbuka, keluarga Ga menuntutnya untuk menikahi Ga Ba Nget.
Rojali tidak mempunyai pilihan lain. Kalau ia berani macam-macam, juragan
kembar Ga Je Bo dan Ga Ce Bok pasti tidak akan melepaskannya. Kalau sudah
begitu, apa lagi yang dapat dilakukannya untuk bertahan hidup sebagai nelayan.
Setelah mereka menikah
nanti, keluarga Ga akan mengasingkan mereka ke Samarinda. Mau bagaimana lagi,
pernikahan antara Melayu dan Cina merupakan aib di daerah mereka. Belum lagi
perbedaan status sosial keluarga juragan dengan nelayan sederhana. Demi menutup
aib itu, keluarga Ga menanggung seluruh biaya pernikahan dan memberi modal
Rojali membuka toko di Samarinda. Tapi ada
satu masalah lagi yang mengusik pikiran Rojali. Apa yang akan ia lakukan dengan
anaknya yang masih bayi merah itu. Ga Ba Nget tak sudi merawat anak dari istri
tua suaminya.
***
Bak Wan yang terseret-seret
masalah tak setega sang sopir yang kabur begitu sang perempuan diangkat ke
dalam rumah bidan. Ia ikut mengantarkan sang bayi ke keluarganya. Lalu ia
berkenalan dengan sang ayah jabang bayi, Rojali. Dilihatnya wajah Rojali yang kusam, dan ia pun jatuh kasihan. Ia pun
bersimpati terhadap masalah yang dihadapi oleh Rojali. Terlepas dari siapa yang
benar dan siapa yang salah, yang jelas sang bayi membutuhkan rumah untuk tumbuh
dan menerimanya apa adanya. Bak Wan kemudian menawarkan dirinya dan meminta
izin kepada keluarga Rojali untuk mengangkat sang jabang bayi jadi anak angkatnya.
Begitu keluarga Rojali tahu kalau Bak Wan seorang muslim, mereka pun mengizinkannya.
Bak Wan
Bak Wan adalah seorang Tionghoa
yang sangat lemah lembut, baik hati maupun tingkah lakunya. Keluarganya hampir
yakin kalau ia adalah titisan kasim. Namun kecurigaan itu langsung berubah
menjadi murka ketika ia kedapatan menjalin cinta dengan Sarah anak Haji Melur.
Kedua keluarga sama-sama tak merestui hubungan cinta mereka. Beda agama dan
beda suku pula. Dengan berat hati, Sarah memutuskan cintanya dan kemudian
dijodohkan oleh ayahnya dengan Hamzah anak dari teman ayahnya. Tak lama kemudian
Sarah pun diboyong ke Yaman tempat keluarga Hamzah.
Bak Wan sangat terpukul
dengan kepergian Sarah. Bahkan sekarang bayangnya pun tak dapat dilihatnya. Dikais-kaisnya
kenangan bersama Sarah, gadis cantik Melayu-Arab. Dia beda dari gadis-gadis
Tionghoa yang pernah dilihatnya. Kerudung dan matanya yang besar, serta tutur
katanya yang halus bagai alien yang menjawab seluruh harapan Bak Wan. Bak Wan
pun mulai mempelajari Islam, agama Sarah. Ia ingin mengetahui segala sesuatu
tentang Sarah. Islam-lah kepingan terakhir tentang Sarah.
Namun, sungguh tak
disangka ia menemukan kedamaian didalam Islam, hingga akhirnya memutuskan untuk
masuk Islam. Keputusannya yang frontal ini membuat keluarganya kecewa. Berbagai
hal mereka lakukan untuk mengembalikan Bak Wan dalam keluarga mereka, tapi
gagal. Puncaknya, ketika keluarganya memutuskan untuk membuang Bak Wan dari
kalangan mereka. Semua akses ekonominya diputus. Jadilah Bak Wan merangkak
membangun usahanya dari awal.
Usia Bak Wan tak muda
lagi ketika mengangkat Tardulude Binti Rojali. Hidupnya mulai terasa lengkap,
meski tak pernah menikah. Kehadiran Tardulude dalam hidup Bak Wan juga bagai
pengundang rizki yang berkah. Usahanya berkembang, kondisi ekonominya jauh
membaik setelah anak itu datang.
Bak Wan menyayangi
Tardulude seperti anaknya sendiri. Namun Islam melarangnya menyembunyikan
nasab. Sedari dini, dia jelaskan keadaan sebenarnya. Dididiknya Tar menghormati
ayah dan ibu tirinya, serta menyayangi adik-adiknya. Setiap libur sekolah,
dikirimnya Tar ke Samarinda demi menunaikan bakti pada ayah kandungnya.
***
Rain & Tardulude
yang lalu
Anak baru yang katanya
perempuan itu, dipaksa guru untuk duduk di sebelah Rain. Kalau tidak melirik
rok-nya, Rain yakin ini pasti anak cowok yang hobi ngebuli. Rambut yang
awut-awutan, suara ingus yang sesekali ditarik terasa sangat ‘jalanan’ bagi
Rain. Kalau biasanya anak perempuan itu pasti terlihat manis, teman barunya ini
pengecualian. Pada awal berkenalan, setiap pertanyaan Rain hanya dijawabnya
dengan dengusan. Sampai-sampai Rain yakin ada bahasa dengus.
Tapi entah mengapa, semenjak
itu, hari-hari Rain terasa lebih mudah. Mungkin karena semua gosip telah beralih
kepada si anak baru. Mungkin juga karena anak-anak yang sering membulinya tak
berani mendekat karena si anak baru mengekorinya kemana pun-kecuali kamar
kecil. Bahkan, dia juga berkenalan dengan mama Rain. Karena dia satu-satunya
anak yang mengikuti Rain setiap pulang sekolah. Dasar anak aneh.
***
Ini
adalah hari pertama Tar di sekolah barunya. Bisnis Bak Wan kini sudah besar,
dan dia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Baik untuk bisnis Bak Wan maupun
untuk masa depan Tar, Jakarta menawarkan lebih banyak kesempatan daripada
Tanjung Balai. Bagi Tar kecil yang hanya mengenal pasar Tanjung Balai sebagai
tempat paling ramai, Jakarta terasa begitu bising sekaligus menantang.
Tar sempat bengong
sebentar ketika guru menyuruhnya duduk disebelah anak yang katanya cowok. Kalau
tidak melirik celananya, Tar yakin ini pasti anak cewek yang hobi berdandan.
Rambut pendeknya yang agak kepanjangan dan tertata rapi, suaranya yang halus
terasa sangat ‘kastil’ bagi Tar. Kalau biasanya anak lelaki itu pasti terlihat
seperti ‘cari masalah’, teman barunya ini pengecualian. Pada awal berkenalan,
setiap pertanyaan anak itu hanya mampu dijawabnya dengan dengusan gugup karena
merasa sangat senang mendapat teman baru. Sampai-sampai Tar yakin dialah penemu
bahasa dengus.
Tapi entah kenapa,
semenjak itu hari-hari Tar terasa lebih
mudah. Mungkin karena ‘efek artis’ dari semua gosip yang tertuju padanya.
Mungkin juga karena ia mendapat teman baru yang cantik, eh, tampan. Mereka
selalu bersama-sama kemana pun-kecuali kamar kecil. Bahkan dia juga berkenalan
dengan mama temannya itu. Seorang teman yang baik kan harus tahu dimana rumah
temannya. Ibu temannya itu sangat cantik, Tar tidak pernah mengenal ibu
kandungnya. Betul-betul anak yang beruntung.
***
Saat
itu tahun terakhir di SMA, mama meninggal. Jantung mama memang lemah. Bahkan bisa
memiliki anak pun merupakan mukjizat bagi beliau. Itulah yang selalu mama
ceritakan setiapkali beliau ingin mengungkapkan betapa berharganya Rain baginya.
Rain berharap mukjizat datang lagi, atau setidaknya membangunkan dirinya dari
mimpi buruk ini. Penyakit mama sempat kambuh beberapa kali sebelumnya dan
dibawa ke rumah sakit, namun beliau tidak kunjung membaik.
Setelah acara
penguburan yang singkat, Rain harus disibukkan dengan surat-surat wasiat dan
peralihan kekuasaan perusahaan Opa yang diwariskan kepada mamanya, dan kini
kepadanya. Rain melakukannya bagai robot tanpa rasa. Satu hal yang
diinginkannya adalah selesainya segala urusan yang riuh ini, dan kembali
menyendiri.
Kehilangan itu sungguh terasa tidak nyata. Sepanjang
hidupnya, mamalah segalanya bagi Rain. Satu-satunya gerbang mengenal dunia,
satu-satunya pintu mengenal bahasa cinta. Tanpa mama, entah bagaimana caranya
menjalani hari-hari nanti. Rain merasa lumpuh sekaligus buta seketika. Kalau
ada rasa yang masih bisa dia beri nama, itu adalah hampa.
Hanya Tar yang setia
mendampingi selama penguburan ibunya. Sekarang pun Tar menungguinya
menandatangani segala pernak-pernik perusahaan. Wajahnya murung, dan matanya
tak lepas memandangi punggung Rain dengan khawatir. Rain membiarkan Tar
mengikutinya. Ia sudah kehilangan selera untuk berahasia tentang siapa dirinya.
Tar yang sekarang,
sudah jauh berubah dibandingkan Tar kecil teman sebangkunya dulu. Rasanya tak
percaya kalau mengingat bagaimana rupa Tar ketika mereka pertama kali bertemu.
Sekarang rambut Tar tidak lagi awut-awutan seperti dulu. Rambutnya tertutup
rapat dibalik jilbab. Dia juga jauh dari kesan tomboy. Rain tak pernah
mengatakan ini, tapi harus diakui bahwa Tar telah tumbuh jadi remaja yang
cantik.
Perubahan anak bengal
jadi gadis jelita itu tak berpengaruh nyata pada hatinya. Tar tetaplah
sahabatnya yang tulus dan selalu mengikutinya kemana pun. Seperti sekarang,
wajah Tar lah yang paling dirundung duka di ruangan yang penuh dengan
kepentingan dan keuntungan ini.
Saat kembali ke rumah
yang kosong, tanpa mama yang menyambut, kesedihan Rain pun pecah. Selama
penguburan tadi, ia seperti mayat yang tidak mempunyai rasa. Tapi ketika
otaknya telah terhubung dengan semua kenyataan, ia pun tersadar. Mama tidak
akan pernah dapat dilihatnya dan menemaninya lagi. Ia pun mencari sisa-sisa
mamanya disemua sudut rumah mereka. Kemudian, ia masuk ke kamar mamanya dan
tertidur dalam lemari built in
bersama semua baju dan sepatu mamanya. Perpaduan aroma pakaian, parfum, dan
sepatu mamanya membuatnya merasa seakan mama masih ada di rumah itu. Sakit di hatinya
sedikit terbalut ketika aroma itu menipu otaknya.
Tiga hari tidak masuk
sekolah Rain banyak berfikir tentang hidupnya. Ia memaki orang yang tak pernah
datang itu. Bahkan ketika pemakaman mama. Mama meninggal membawa cintanya pada
orang itu. Tak hanya mama, tapi setiap teman perempuannya yang berpacaran pun
dengan bodohnya percaya dengan janji-janji dari kekasihnya. Kenapa wanita
begitu lemah? Rain sangat ingin mama bahagia dan melupakan orang itu. Tapi tak
ada lagi tempat untuk membuktikan itu. Mama telah pergi. Kini dia sendiri,
benar-benar sendiri.
Rain duduk di depan
kaca rias mamanya dan mengoleskan lipstik di bibirnya yang kecil. Lalu ia
membalutkan syal dilehernya. Ia tercenung menatap wajah di dalam cermin itu. Ia
memang sangat mirip dengan mama. Di sekolah, walaupun banyak penggemar
wanitanya, tak jarang ia diejek banci oleh teman-teman prianya. Tar yang selalu
mengusir mereka. Tapi Tar malah sering dikerjai murid-murid perempuan, yang
entah bagaimana merasa cemburu pada Tar. Yang benar saja mereka itu. Rain hanya
memanfaatkan keadaan. Apapun itu, tak masalah, asal kehidupannya di sekolah
lebih nyaman. Harus ia akui, ia memanfaatkan Tar. Tar adalah sahabatnya yang
tulus, sayang dirinya tidak seperti itu.
Rain memutuskan ia akan
menjadi mama. Ia akan buktikan cara yang paling baik dan bahagia dalam
mencintai. Ia akan jadi wanita. Ia akan tunjukkan pada dunia bagaimana caranya
wanita menang dalam cinta. Dia akan buktikan itu. Mungkin dengan begitu Tar
sahabatnya yang biasa saja itu dapat belajar dan memenangkan cintanya. Menurut
Rain, Tar jenis yang lebih sengsara lagi. Bagaimana tidak, rasanya cinta enggan
hinggap atau sekedar lewat dalam hidup sahabatnya itu. Seumur hidupnya, tidak
pernah ia melihat Tar ngeceng atau sekedar naksir pada pria manapun. Mungkin
inilah satu-satunya hal baik yang dapat ia lakukan pada Tar.
***
Sehari setelah lulus
SMA, Rain mengajak Tar bertemu. Tar senang bukan kepalang. Mana pernah
sahabatnya itu meminta bertemu. Selalu dia yang merengek, memaksa atau
tiba-tiba saja datang. Kalau Tar tahu apa yang menantinya, ia lebih memilih
untuk tidak datang atau sekalian melupakan persahabatan mereka. Sayangnya Tar
tidak tahu itu…
Anehnya, pintu depan
tidak dikunci. Tar memanggil Rain dari pintu depan. Rain menyahut dan
menyuruhnya masuk. Agak canggung juga rasanya. Mereka sama-sama telah dewasa
dan tak ada orang lain dirumah itu selain mereka. Terakhir kali ke rumah itu
ketika Tar mengantarkan Rain pulang setelah tanda tangan waris di hari
pemakaman mamanya. Tar duduk rapi menghadap TV dan sesekali mengayunkan kakinya
dengan canggung.
“Tar..”, panggil Rain.
Reflek, Tar menoleh
kebelakang. Jantung Tar terkesiap ketika melihat orang yang memanggilnya itu. Seseorang yang sangat mirip dengan mama Rain,
lengkap dengan busana dan make up beliau. Bahkan aroma parfumnya juga sama
persis dengan mama Rain. Tapi tentu saja orang yang sudah wafat tak mungkin
hidup lagi. Jadi orang ini adalah…?
“Aku memutuskan untuk
jadi wanita”, ucap Rain lagi.
Sesuatu didalam dada
Tar tiba-tiba terasa sakit. Ia tak pernah ingat pernah merasa sakit seperti
itu.
“Aku akan melanjutkan
sekolah di Perancis. Cuma 2 tahun sih. Aku ingin mendalami design. Doakan aku
ya.”
Rain menghidangkan
minuman dan bercerita tentang rencana-rencananya. Berangkat ke Paris beberapa
hari lagi, pulang dua tahun lagi, dan meraih impiannya jadi desainer terkenal.
Sesekali, Rain memperbaiki posisi rambutnya, mengibaskan tangan, atau sekedar
mengusap keringat dengan tisu. Benar-benar mirip dengan almarhumah mamanya.
Tar membisu, mencoba
mencerna semua yang terjadi. Kata-kata Rain hanya tertangkap
sepenggal-sepenggal di otaknya. Tar terlalu sibuk terpesona. Sahabatnya itu
terlihat seperti orang lain. Dia terlihat luwes dan nyaman dengan dirinya.
Bahkan dia sangat cerewet sekarang. Sepertinya, kepribadiannya pun ikut
berubah. Tar tidak kenal dengan orang asing ini. Orang ini bukan sahabatnya
yang dulu. Sesuatu di dada Tar terasa tersayat.
“Mulai sekarang jangan
lagi panggil aku Angga, panggil aku Rain ya. Kedengarannya lebih modern gitu.”,
kata Rain sambil menatap lekat sahabatnya.
“Rain..”, mata Tar menghindari tatapan Rain. Ini
terlalu sulit untuknya.
“Nah begitu dong. Aku
lega banget ada orang tempat aku berbagi ini. Aku tahu Tar pasti mengerti aku.”
Tar pamit ke kamar
mandi. Air matanya tak terbendung lagi. Dia bahkan tak tahu apa nama perasaan
ini. Hanya sesuatu yang perlahan terasa semakin menyesakkan, hingga di satu
titik, ruang di dalam dadanya tak sanggup lagi menampungnya. Ini Angga-nya,
sahabat kecil yang menemaninya mendewasa. Seseorang yang kepadanya bahkan Tar
tak perlu curhat apa pun untuk bisa dipahami. Saling mengerti begitu saja.
Mereka berdua seperti punya bahasa yang jauh melampaui kata-kata. Semua orang
boleh datang dan pergi dalam hidupnya. Tapi tempat di hatinya hanya cukup untuk
menampung dua nama: Bak Wan dan Angga. Lalu, kini tiba-tiba dia jadi…. Rain? Kiamat
serasa datang dipercepat.
***
Tar
pulang dengan perasaan yang linglung. Semua terjadi begitu cepat. Lusa ia harus
mengantar ‘Rain’ ke bandara. Pasti ada yang dapat ia lakukan untuk sakit
hatinya ini. Setelah semalaman dirudung gelisah, ia harus bertemu dengan Rain
sekali lagi dan menegaskan sikapnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Tar mengunjungi rumah Rain. Pintu rumah Rain digedornya dengan tak
sabar. Dari dalam rumah terdengar langkah yang diseret. Tak lama wajah ‘Rain’
yang masih mengantuk muncul dari balik pintu. Terlihat cemberut setelah tahu
siapa penyebab keributan di pintu depannya.
“Apa lagi? Kamu tu kaya
jelangkung ya Tar.Datang tak diundang pulang tak diantar. Sehari sebelum pergi
masih juga kamu hantui aku. Aku kan butuh istirahat Tar”, sembur Rain -yang tak
suka tidurnya terganggu- pada Tar yang
masih setengah mangap mau membela diri.
“Aku mau bicara sesuatu
juga sama kamu. Boleh aku masuk?”, tanya Tar ketika melihat Rain menarik nafas untuk
bicara lagi.
Tak menunggu jawaban
Rain, Tar masuk ke rumah itu. Dengan wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca,
ditatapnya Rain yang kebingungan. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Tar membuka
kerudungnya. Lalu ditariknya karet rambutnya, dan dengan perlahan diuraikannya
rambut hitam sebahunya itu.
“Karena kamu memilih
jadi wanita..” ucap Tar terbata
Tar segera berlalu dari
hadapan Rain dan mengenakan jilbab seadanya sebelum melewati pintu depan. Tar
merasa dirinya pasti sudah gila. Dosa itu dilakukannya tanpa sanggup ia sangkal
lagi. Hatinya sakit tanpa dipahaminya mengapa. Tar berlari
sekencang-kencangnya, seakan dengan begitu kepedihannya bisa terbang dan
berjatuhan seperti bulir-bulir airmatanya. Tapi tidak. Rongga dadanya masih
saja terasa sesak.
***
Rain masih berdiri kaku
sesaat ketika pintu depan dibanting. Kemudian ia terduduk lemas. Tar melepas
jilbabnya karena ia memilih jadi wanita. Jadi bagi Tar, sekarang dia adalah
wanita. Mestinya Rain bahagia. Tar-nya menerima dan memahami pilihan hidup yang
diambilnya. Tapi airmata itu, tak lepas dari benak Rain. Bertahun-tahun
mengenalnya, tak pernah sekalipun dilihatnya Tar menangis. Apakah pilihan ini
menyakitinya?
Rain memegang dadanya.
Ini apa? Rasanya tidak nyaman. Tapi bukan kesakitan seperti ketika mamanya
tiada. Sepertinya jantung bekerja lebih keras daripada biasanya. Bunyi detaknya
terasa memekakkan telinga. Sesuatu menyesak, terasa ingin meledak. Rain berlari
menaiki tangga. Dari atas atap, dia berteriak sekuat tenaga. Ah, inilah rupanya
yang dirasakan serigala saat melolongi purnama…
***
“Nah Tar, sekarang kau
bisa belajar dewasa. Sekarang kau tidak bisa mengikutiku lagi.”, kata Rain ketika Tar mengantarkannya ke
bandara.
Ia mencoba menghapus
pertemuan aneh mereka kemarin dari benaknya. Syukurlah, Tar memakai jilbabnya
dengan rapi kali ini. Tar hanya diam menanggapi ocehan Rain.
Ah, Tar memang aneh
akhir-akhir ini. Dia bukan Tar yang dulu. Tar yang cerewet dan nyaris tanpa
malu. Rain lebih suka pada Tar yang dulu. Dia bisa melakukan apapun dan Tar
yang dulu pasti akan tetap setia padanya.
***
“Bagaimana kau meminta
akhir pada yang tak berkesudahan?”, ucap Tar lirih sehingga hanya dapat
didengar oleh Rain, “Mungkin sudah nasibku selamanya mengikutimu”
Kecerewetan Rain mendadak
sirna. Dia kehilangan semua kosakata yang mungkin digunakan untuk menjawab
kalimat sahabatnya.
“Aku pergi..”, hanya itu yang mampu dikatakan Rain.
Rain berlalu
meninggalkan Tar. Tepat di depan pintu pemeriksaan gerakannya melambat dan
berhenti. Rain ingin membalikkan tubuhnya tapi ditahannya kuat-kuat rasa itu.
Lalu ia pun melewati pintu pemerikasaan dan segera antri untuk check-in, tanpa menoleh ke arah Tar
sedikit pun.
***
Tar hanya mampu menatap
punggung Rain yang menjauh lalu menghilang. Tiba-tiba pandangannya menjadi
lamur. Tar menangis…
Rain & Tar yang
sekarang
Rencana
kepergian Tar ke Samarinda cukup mengguncang Rain. Dia teringat perpisahannya
dengan Tar waktu dia ke Perancis. Entah apa yang menyebabkan mereka pada hari
itu begitu mabuk. Telah 5 tahun sejak ia kembali ke tanah air. Tar menunda
kuliahnya selama 2 tahun karena merawat Bak Wan yang sakit parah. Sekarang, Tar
harus mencampakkan cita-citanya demi merawat Baba-nya di Samarinda.
Rain
selalu melakukan hal yang dia inginkan tapi Tar selalu mendahulukan orang lain
di atas kepentingannya. Rain ingin melakukan sesuatu untuk Tar. Dia teringat
akan desain clutch terbarunya. Ponsel
jenis terbaru kadang kala justru membuat kita sulit untuk berkomunikasi. Pasalnya,
ponsel tersebut terlalu banyak menanggung fitur yang memperberat kinerjanya.
Walhasil, baterainya sering drop alias lowbat.
Untuk menggantinya pun
bukan solusi cepat dan tepat karena bisa jadi kita sangat membutuhkan
fitur-fitur yang ada didalamnya. Contohnya saja masalah Tar yang suka meminjam
ponselnya. Tentunya itu sangat menyulitkan Tar yang tidak bisa menggunakan ponselnya
secara optimal. Bisa-bisa telfon atau pesan darinya akan tertunda sampai ke
Tar.
Desain clutch barunya ini harus mampu menyimpan
beberapa baterai cadangan dan charger. Harus mudah diakses, tidak baggy, dan yang terpenting adalah tetap fashionable. Rain ingin memberikan clutch buatannya itu kepada Tar. Desainnya
ini tak mungkin salah. Dia tahu warna kesukaan Tar dan selera Tar. Jadi dia
harus segera merampungkan prototipenya malam ini karena Tar akan berangkat
penerbangan besok pagi. Untuk desainnya kali ini, ia menamakannya Lowbatt-Antidote.
Sebentar. Benar-benarkah
ini dia lakukan untuk Tar? Tampaknya tidak juga. Ini untuk kepentingan dirinya
sendiri. Rain tak ingin putus komunikasi dengan Tar. Setiapkali dihubungi, Tar
akan menjawab tanpa ada alasan lowbat. Ah, memang sulit berhenti egois dan
benar-benar tulus melakukan sesuatu untuk orang lain. Kali ini, untuk Tar,
semua harus dilakukannya sendiri. Mulai membuat pola, menjahit hingga memasang
pernik terdetilnya. Tak ada seorang pun asisten yang boleh membantunya. Ini
harus menjadi sebuah kado istimewa.
Namun sayangnya, belum
lagi selesai menggambar pola, Rain merasakan perutnya melilit tak terkira. Oh,
lontong-tahu-bakwan sialan itu mulai bekerja, justru di saat-saat penting
begini….!
***
Hari itu adalah hari
tersial Rain selama hidupnya. Dimulai dari menerima usulan Tar untuk ber- Go Green. Memakai angkot dan
mengistirahatkan mobilnya dalam garasi. Katanya, cowok-cowok eksekutif muda
lebih tertarik pada cewek-cewek yang melek lingkungan. Kepanasan sampai make
up-nya luntur, diliatin orang seangkot, belum lagi digesek-gesek bapak-bapak
aneh. Baru kali ini ia merasa begitu sengsara dan dilecehkan. Tanpa bisa
menuntut atau protes. Rain mengingat-ingat untuk memesan stuntgun dari sebuah web yang direkomendasikan jejaring sosialnya.
Lebih dari Lowbat-Antidote, tampaknya Rain lebih
membutuhkan cepirit antidote. Ini
pasti karena ia makan Lobat, lontong bakwan tahu bareng Saebani. Seumur hidup
baru pertama kali ia makan di pinggir jalan seperti itu. Memang dasar Saebani,
pantas saja dia belum dapat pacar. Masa orang semanis Rain diajak makan
dipinggir jalan. Gimana yang jelek? Diajak mancing kali.
“Ku kutuk kau Saebani,
jomblo karatan…!”, maki Rain dalam hati.
Tapi Rain senang juga,
karena Saebani adalah satu-satunya orang yang memperlakukannya dengan tidak
istimewa. Lebih tepatnya memperlakukannya seperti teman cowok. Ih, temen cowok
apa sih yang dipikirkannya. Rain merinding sendiri membayangkan dirinya
kongkow-kongkow ala masteng bareng Saebani.
Saat sedang sekarat di
kamar mandi, Rain malah teringat pada Smile sang Manager Pemasaran alias Ismail
sang retail cendol. Ingin rasanya ia memaki dirinya sendiri yang begitu buta.
Jelas-jelas bedanya bak bumi dan langit, bintang dan pasir, madu dan racun.
Tapi entah mengapa otaknya tak mau bekerja waktu itu.
Mendadak, Rain tertawa
tergelak. Bukan, bukan menertawakan Mail. Rain menertawakan dirinya sendiri.
Bukankah dirinya juga palsu? Malah saking ahlinya memalsukan diri, sampai Mail
pun belum tahu identitas aslinya. Tidak juga Saebani. Atau siapapun di
sekelilingnya. Sepulang dari Perancis, Rain benar-benar memulai hidup baru di
lingkungan baru. Tak ada yang tahu.
Kecuali Tar. Ya,
Tar-nya yang teristimewa dan satu-satunya. Sejak Rain masih bocah lelaki ingusan,
remaja tanggung yang krisis identitas, hingga kini menjadi ‘wanita’ mapan, Tar
tak pernah berubah. Selalu ada untuknya, menjadi pendengar pertama
cerita-ceritanya, tempat sampah segala keluh kesahnya. Menjadi energi
setiapkali jiwanya lowbat, mengingatkannya sholat lima waktu, menjaganya dari
kejamnya dunia fashion yang glamor.
Bahkan, hanya Tar yang
tahu mengapa Rain menolak segala macam pekerjaan setiap hari Jumat. Pada hari
itu, satu-satunya hari dalam seminggu, Rain menghilang. Angga-lah yang mengambil
alih, berbaur dengan ratusan pria di masjid. Tak ada Rain sang desainer jelita.
Tak ada si sosialita papan atas dunia mode. Hanya seorang hamba Allah yang
selalu merindukan-Nya.
Sambil mengusap
airmata, Rain mulai menjahit di ruang kerjanya. Mengenang segala yang telah dia
lalui bersama Tar selama ini. Bertahun-tahun lalu, takdir telah mempertemukan
bocah lelaki tak berayah dan gadis kecil tak beribu. Setelah ini, ke manakah
kiranya takdir akan membawa mereka berdua?
(…bersambung…)
Tentang
penulis
Pada sebuah kala ketika
kalam tak bisa menyebut asalnya, ia meminta nama. Tulis adalah dunia baru cara
ia berkata. Wujudnya tak ingin terkait fana. Ia hanya pengujar fikir yang
terbata. Jadilah ia si pemaksa.
Malam
itu kabut membisikkan sebuah nama. Telah lama juga ia membisikkan kata-kata
yang menepuk tanya. Tapi tak satu pun diangkat untuk mempertuankannya.
Beruntunglah, kali ini ia datang membawa satu yang lain. Lalu ku robek ia dari
tafsir dan menjadikanya penaku –Diandra Rasyid.
Co-writer
Daun Agathis is a
fulltime dreamer, life-lover and writer wannabe. Please follow me on twitter
@daun_agathis
Salut sama Dolyna. Ditengah krisis, tidak melumpuhkan kekuatan menulis muh.. tapi... tampaknya pada awal hingga nyaris setengah sambungan cerita, lebih cocok jadi awal cerita ya, (alias part 1) nah baru deh,,, flash back na disisa cerita. ^^ just comentato... ^^Membaca cerita mu seperti membaca ulang laskar pelangi. Karakternya mendekati. That’s good, bisa dijamin novel mu nanti bisa setebal buku tafsir ibnu katsir.
ReplyDeleteHm.. buat yang mau nyambungin cerita, semangat yah... 15 halaman full loch... ^^
Terimakasih jeng, menurutku, boleh banget tuh sarannya. By the way saya belum pernah membaca novel Laskar Pelangi.
ReplyDeleteTerimakasih yang sebesar-besarnya untuk co writer saya yang sabar dan penuh ide. Segeralah menjadi penulis wahai Daun Agathis. Biar aku yang merawat Eru Kero..
Jejeje... kloning dimana karah?? heuws Eru Kero ? nama apa? mesin waktu? kucing buatan atau...??
ReplyDeleteEru Kero itu ciri-cirinya cakep, murah senyum. Tapi sayang sampai sekarang dia belum memilih, mau jadi cewek atau mau jadi cowok dengan kata lain Eru Kero itu galau.
Deletewewww
ReplyDeleteYou know, I was very moved reading the last verse writing. Really, you are very talented in developing the story. One hundred percent happy with your story further. I like your version of Rain
ReplyDeleteThankyou to you too for creating Rain character on the first place :D. He just such adorable character to expand with XD.
ReplyDelete