(Sebuah cerpen)
Sepertinya mudik tahun ini, kurang menggembirakan buat Ra. Pasalnya umi, orang tua yang tinggal satu-satunya itu, sejak beberapa bulan yang lalu menjadi cerewet minta ampun. Apalagi kalau bukan minta menantu? Mengingat usia Ra yang sudah menginjak 27. “Ra, pokokna lamun mudik taun iyeu, Ra teu acan aya calon, umi mah bade ngajodohkeun Ra jeung si Topik anakna bu Erwe” begitu kata Umi tempo hari di telepon. “Haduh… Topik??
Dari namanya aja udah ‘gak jebo’. Trus bu Erwe mana lagi?!” yang Ra tau justru ia tidak pernah tau karena mudik yang setahun sekali itu membuatnya tidak terlalu mengenal orang-orang di kampungnya. “Jadi gimana dong, tolong gue!” teriak Ra di telepon pada sahabatnya, Non. “Udahlah Ra, ikutin aja sih. Lo musti nyadar, lo ma umi lo tuh dah sama-sama tua tau gak” “Ya tapi kan gak gitu juga caranya! Gue bisa cari sendiri ko” timpal Ra. “Kalau bisa cari sendiri, buktinya sekarang masih jomblo. Udahlah… anggap aja ini mudik ples satu, satu masalah maksudnya. Hihihi” ujar Non sambil cekikikan. Kalimat temannya ini membuat Ra diam lalu menangis. Hidupnya jadi berubah drastis. Karena ia tau, bahwa kemauan umi itu kadang susah ditolak. Ra membayangkan orang yang bernama Topik. Dalam pikirannya terbentuk satu sosok culun dengan baju kaos oblong, gaya rambut di stik dengan poni kuda. Belum lagi kalau nyengir. Ra histeris sendiri. lalu segera mengambil buku telepon, mencari nomor-nomor telepon temannya yang bisa dijadikan pacar sementara waktu. Dan inilah beberapa jawaban dari teman-teman cowo dari esde, kuliah sampai teman kerjanya. Yogi : “Aduh sorry Ra, lebaran sekarang gue udah kerumah mertua yang baru” Abdi : “Wah gimana sama pacar gue entar?” Faisal : “Lo mau jadi bini kedua gue Ra, hahaha” (Tawa Roni menggelegar. Cowo yang satu ini memang ngebet sama Ra dari dulu) Zein : “Masya Allah Ra, coba dulu aja kenalan ma Topik. Aku…” (Ra langsung tutup telepon) Yadi : “Yey, emang gue cowwo appaan…” (dengan nada manja.) Dan sederetan nama lainnya. Semua diawali tanpa basa basi, yang penting kena sasaran. Walhasil Ra pun gagal. Mudik oh mudik. Kenapa juga, umi Ra harus kasi dateline sampai lebaran tahun ini? Hari demi hari dilalui dengan tanpa gairah. Kerja malas, tidur sulit apalagi berinteraksi dengan teman-teman lain. Semua bicara soal pulang kampung, baju lebaran, kue-kue dan segudang rencana yang tersusun rapi. Beda hal dengan Ra, semua berubah seratus delapan puluh derajat. Sampai ia harus ke dokter karena penyakit maaghnya kambuh. Detik menegangkan. Takbir bergema dengan sangat indahnya. Saat ini Ra merasa agak tenang. Ia bisa tersenyum meski gak enak kelihatannya. Non terus menyemangatinya sambil menyampaikan ide konyol. Ia menyuruh Ra agar tidak berlama-lama di kampung. “Satu hari? Gila lo ya? perjalanan kesana aja makan waktu dua belas jam. Terus kapan gue istirahatnya bu…!” “Ya, itu sih terserah lo Ra. Kalau nggak besoknya lu balik deh kesini. Tapi pagi-pagi… banget! bilang kalau urusan kantor yang mendadak dak dak dak!” kata Noni lagi seraya meyakinkan. Untuk sementara ide Noni boleh juga. Ra nyengir. “Hehehe… ya ya ya. Lu pintar juga kadang. Jadi mereka gak punya kesempatan ya? ok deh kalau gitu makasih ya. Capek dikit gak apa-apa daripada gue capek batin selamanya dengan nikah sama sapa tuh??” ledek Ra. “Pik pik pik gitu namanya, sapa ya? gue juga lupa!” Mereka berdua tertawa berderai. Akhirnya ide cemerlang ini datang juga didetik-detik terakhir. Semangat empat lima Ra berkobar. *** Bau harum bunga kenanga terbawa angin. Wanginya yang merupakan khas stasiun ini menyeruak hingga mungkin tercium oleh semua orang. Ra jadi kangen dengan keluarganya. Sebenarnya kalau bukan karena masalah perjodohan ini, Ra ingin sekali tinggal lama di tempat kelahirannya sambil memanfaatkan hari libur panjang. Stasiun sangat sibuk. Padat dengan orang-orang yang juga mudik. Tas-tas besar, tukang dagang, dan semua orang dari segala usia ada semua. Ra berdiri sebentar di ujung peron memandangi kereta yang baru saja ia naiki selama kurang lebih dua belas jam. Kerinduan sekaligus kesedihannya campur baur. Fuih! Ia membuang nafas panjang dan mulai melangkah menuju jalan raya. “Euleuh euleuh…. Iye budak tos dongkap… Ical… geura kadie, tempo saha nu datang! Mani geulis pisan… masya Alloh…” umi memeluk Ra dengan erat dengan air mata berlinang-linang. Setelah itu, semua berdatangan dan gantian memeluk Ra. Matanya mencari-cari orang yang tidak dikenal yang mungkin saja bernama Topik. Mereka saling bermaaf-maafan dan tidak sabar mendengar berbagai cerita menarik dari Ra selama di ibukota. Karena bagi mereka, kota Jakarta yang wah dan belum mereka datangi itu penuh dengan hal-hal menarik. “To… pik?” tanya Ra terbata-bata. “Owh… eta mah gampil neng. Teu keudah ayeuna, pan manehna oge nembe dongkap ti Jayapura” “Hah!!! Jayapura!!” mata Ra melotot sambil histeris. Hampir saja ia loncat. Lengkap sudah penderitaannya. Sosok bayangan itu muncul lagi. Oh no! rasanya ia tidak harus menunggu besok untuk pulang ke Jakarta. Nanti malam pun jadi. *** Mata Ra menyapu ruangan demi ruangan. Poto-poto di dinding dan dapur umi yang masih beralaskan tanah. Tiba-tiba Ra jadi sedih karena usia pelampiasan rindu ini hanya berumur beberapa jam. Ia tersenyum saat mendapati ketupat yang digantung di bambu-bambu. Ditambah suara beduk yang bertalu-talu tiada henti. Maklum, kebetulan masjidnya pas sebelah rumah. Ra melirik jam lagi. Cepat sekali rasanya. Satu ide sudah bersemayam diotaknya sejak Noni sahabatnya itu memberi tau dengan antusias. Disamping menasehati agar silaturahmi tetap terjalin, sahabatnya itu menyuruhnya juga untuk berbohong. Ra berdecak kagum. Dari lantai dua rumah itu, ia bisa melihat pemandangan indah. Sawah-sawah yang terhampar luas, pohon-pohon besar dan lebat, dan sungai kecil yang mengalir disisi jalan. Semua itu tampak serasi dan tidak bisa ia dapatkan di Jakarta. “Andai saja… “ Ra termenung lagi. Mudik tahun ini benar-benar mudik paling beda dari tahun sebelumnya. “Ah… sudah-sudah!” Ra menggerutu kesal. Ia sadar bahwa semua yang dilihat, dirasa dan membuatnya terlena harus diusir segera karena ia harus fokus pada tujuan semula. Ra menuruni anak tangga dengan lemas. Dibawah ada Ical yang sedang membereskan ruang tamu. “Eh, Cal. Kenapa dibereskan? Biarkan saja!” kata Ra. “Eh, si teteh. Pan aya nu rek datang” “Saha?” Kedua alis Ra mengeryit. “Kang Topik. Ceunah mah sore iyeu” jawab Ical tanpa menoleh sedikitpun. Ra terperanjat. Ia tidak menyangka Topik akan datang secepat itu. Berarti kira-kira satu jam lagi. Ia kelimpungan dan segera menghambur kekamar mengambil tas dan sepatu. “Teh, teh kunaon kitu kos kasambet wae…?” Ical menerobos masuk kamar. Khawatir terjadi sesuatu pada kakaknya. “Cal, umi dimana? Teteh harus pulang sekarang. Teteh lupa, tadi ada telepon dari kantor, katanya teteh harus kesana segera… kalau nggak…” Ra berpikir “Hah pokokna gawatlah!” “Teh, pan ayeuna usum lebaran…?!!” “Iya gak tau!!! mana umi??” Ra mulai habis kesabaran hingga hampir terjatuh karena ia melewati satu anak tangga. “Teteh jangan pergi, umi kan teu aya.” “Ya udah salam aja yah! Ini bener-bener penting Cal” ujar Ra. Ia menjadi merasa bersalah. Bisa-bisanya ia berbohong di hari raya seperti ini. Dalam hatinya terus istigfar. Ra melihat Ical dengan tangan menggapai-gapai. Sementara mobil odong-odong yang kap belakangnya terbuka terus berjalan menjauh. Tidak terasa air mata Ra menetes. Tega banget sih gue… katanya dalam hati, apalagi ketika umi menghampiri Ical. Ia hapal benar kalau umi sedang kelimpungan pasti ributnya minta ampun. Masih tampak sama seperti tadi pagi. Suasana di stasiun masih hirup pikuk oleh orang-orang. Ra tergesa-gesa menuju loket dan terpaksa ia harus ikut antrian panjang. Satu lembar tiket tujuan Jakarta yang akan berangkat satu jam lagi membuatnya semakin tidak sabar untuk lepas landas. Sementara menunggu dengan cemas kedatangan kereta api, Ra duduk sambil membaca Koran. Ia tetap hati-hati, takut kalau ternyata orang rumah menyusul. Maka dari itu terkadang ia menyembunyikan wajahnya dibalik Koran sambil melarak lirik keadaan sekitar. Akhirnya kereta datang juga. Orang-orang berlarian, berusaha untuk mendapatkan tempat duduk. Ra segera bangkit dan melakukan hal yang sama. Secepat kilat ia meraih tas dan memakai sepatu yang sedari tadi dilepasnya. Ra berlari diatas lantai keramik. Menembus lalu lalang orang yang tidak sedikit melontarkan kekesalannya. Sret sret, rem kakinya spontan menahan gerakan karena Ra harus belok kesepanjang peron yang lebih padat orang. Beberapa cowo juga berlari dibelakangnya. Ra sadar dan segera mengamankan tas dalam pelukannya. Gubrakkk ! Ra terjatuh sesaat setelah tatapannya berpaling kearah lain. Satu buah mini gerobak terjungkal ke rel, untung tidak berikut si pedagang. Sementara Ra tersungkur diantara orang-orang dan barang dagangan. Ra meringis kesakitan. Ia merasa bahwa kejadian ini adalah akibat berbohong pada umi dan Ical. Ya Allah kok gini amat sih…? keluhnya. Salah satu lutut Ra berdarah sementara tangan kirinya penuh dengan luka baret. Belum lagi makian orang-orang dan tukang dagang yang di tabraknya. Kata Tukang dagang yang ditabrak : “Mbak kalau lari yang bener dong! Liat tuh dagangan saya ancur semua” Ibu-ibu tukang pecel juga komentar : “Iya teh, kalau jalanannya segede badak, mau guling-gulingan juga gak apa-apa!” Ra terus berurai air mata. Ada sedih, sesal, malu dan perih yang tidak alang kepalang. Mudik tahun ini memang benar-benar meriah. Yah, meriah dengan masalah. Ia berusaha bangun untuk membantu si mamang tukang dagang yang gerobaknya ambruk ke rel. tapi dengan cekatan seorang cowo datang dan lebih dulu menolong. Fuih… untung saja. Katanya dalam hati sambil meniup-niup luka baretnya. “Mba gak apa-apa?” tanya cowo itu. Dahinya berkeringat dengan nafas tersengal. Sedikit kikuk, Ra menjawab. Wajah sendu dan berkacamata itu memiliki tubuh yang tegak dan jangkung. Tangannya terulur. Dan segera setelah Ra berhasil bangun seseorang berteriak dari arah belakang. “Pik… pik…!” Ra menoleh. Ia jadi ingat si Topik. “Nama kamu Topik?” tanyanya dengan dahi berkerut. Tapi cowo itu menggeleng. “Bukan, saya Taufik. Taufik Rahman” jawabnya sambil tersenyum. Orang yang berteriak tadi segera menghampiri dan memberondong mereka berdua dengan kalimatnya. “Heuhhh… kamu teh larina gancang pisan! Udah tau badan saya kos gentong cai, “ mulutnya ternganga ketika melihat Ra. “Eh eh, ari ini si teteh Ra. Geuning ketemu juga dari tadi saya sama si topik cari-cari, takut karetana kaburu lumpat!” Ra dan Taufik saling bertemu pandang. “Jadi?!” kata mereka berdua serempak. Dalam hati Ra yang dari tadi mengagumi sikap Taufik itu segera berbunga-bunga. Haduh… kalau begini sih mau dong dijodohin… desis Ra dalam hati. "Oh, ini Ra? Jadi pulang ke Jakarta? Kok mudiknya cuma sebentar?” tanya Taufik. Mata Ra masih saja terpaku menatap Taufik yang gantengnya bukan main. Ternyata cowo yang terbentuk dalam bayangannya itu sama sekali berbeda dengan kenyataannya. “Teteh… teteh… “ teriak Ical, menoleh lagi kebelakang dan mendapati Ical dan umi terengah-engah berlari. “Sebegitunyakah??” Ra menangis lagi. Rasa bersalahnya semakin menyeruak ditambah rindu yang sebenarnya belum tumpah semua. Umi memeluk Ra dengan erat kemudian disusul Ical. “Ra, kunaon atuh… ?” Umi menangis. “Mudik ngan sataun sakali mah, wayahna weh. Da gawean mah moal ceurik iyeuh…” Umi mendongak. “Ning si Topik aya didieu?” “Iya mi, tadi Ical suruh kang Topik susul teteh” kata Ical. Wajah umi sumringah, berharap Ra bisa menerima Taufik. Sepertinya ia sudah tau kalau anaknya itu kurang suka dijodohkan. Umi pasrah. Ia menangis sesegukan. Ra memeluk umi untuk yang kedua kali. Taufik tersenyum seraya memberi isyarat agar Ra menggembirakan hati uminya. Sambil mengelus punggung yang kurus, Ra meminta maaf sekali lagi, yah karena kebodohannya acara mudik untuk menjalin silahturahmi ini jadi berantakan. *** Matahari sebentar lagi surut, tapi tidak mengurangi semangat orang-orang untuk tetap hilir mudik. Setiap kali kereta datang maka para penumpang pun buyar, memadati peron-peron. Langkah-langkah kaki yang sibuk mengejar waktu untuk segera bertemu dengan handai tolan melepaskan rindu yang sebentar lagi tumpah ruah. Sementara Ra masih duduk, rasa nyerinya belum hilang. Ia biarkan kereta tujuan Jakarta terakhir hari itu pergi berlalu begitu saja. Karena mudik tahun ini akan menjadi mudik yang paling berkesan dalam hidupnya bersama keluarga dan tentunya seorang calon suami ganteng seperti Taufik. “Non, jangankan mudik ples satu, kalau kaya gini ceritanya mau ples seribu pun gue tantangin deh” ujar Ra dalam hati seraya bersyukur.
P E R T A M A X . . . . .
ReplyDeletemudik yang membawa berkah ya… selain bisa bersua dengan orang tua…
yoyoy, apalagi kalo cami nya guantengg hehehe
ReplyDeletewah...pasti amat sangat sunggu berkesan banget tuh.hehe
ReplyDeletehehehe... ada gak ya, kisah benernya?
ReplyDeleteinspiratif. makasih ya sudah ikutan kontes
ReplyDeletemakasih pak MT,masih perlu banyak belajar neh windi
ReplyDeleteMenantu emang dambaan orangtua
ReplyDeletesemoga menang dalam kontesnya
salam kenal dari Surabaya
salam kenal juga. Trima kasih atas kunjungan dan doanya ya pak...
ReplyDeleteInformasi yang menarik, coba nih baca juga Mobil Ditinggal Mudik, Lakukan Hal Ini Terlebih Dahulu
ReplyDelete