ACER Episode 1
Oleh : Windi Hastuti
Oleh : Windi Hastuti
lowbat part 1 bisa di klik disini
Tardulude.
Begitu nama lengkapnya. Mendongak sekali lagi kelangit yang tidak mungkin lagi
bisa diajak kompromi, kecuali doa-doa yang ia harap akan dikabulkan.
“Pliss... jangan ujan dulu... aku kan
nggak bawa payung...” selorohnya sambil menahan kesal karena handphonenya ‘mati
suri’. Tapi dalam hati ia bersyukur karena masih ada jam tangan anti air yang
tidak akan lowbat dalam jangka waktu tertentu.
Langkahnya terhenti. Kini ia berhadapan
dengan jalanan lengang. Tak ada mahluk hidup satupun. Bahkan kucing atau
sekedar tikus got yang mengorek-ngorek sampah. Sementara langit telah
memutuskan diri untuk menurunkan bala tentaranya. Pertama-tama, rintiknya jatuh
lambat. Mungkin besarnya pun sebesar biji kacang tanah.
Aw!
Teriaknya saat satu bulir air hujan menimpa hidungnya yang bangir. Namun
kakinya tak juga bergeming untuk meneduh, karena matanya masih gemas
mencengkram suasana yang mulai kabur. Dan akhirnya...
“Ah.... lengkap sudah!!” katanya dengan
nada suara tinggi sambil menengadahkan kedua tangan,berusaha melirik langit
yang terus menghunjam bumi dengan rintik-rintik hujan. “Handphone ‘mati’,
alamat tak jelas, tidak ada orang yang bisa ditanya dan hujan lebat!!”
Sekian
detik berlalu, Tardulude masih tak bergeming. Bajunya lepek. Pencariannya yang
belum berujung hanya menyisakan sedikit lagi semangat yang hampir hilang.
Ingatannya tertuju pada Bak Wan. Seorang muallaf yang mengangkatnya sebagai
keponakan sejak ia masih bayi.
“Tal, lu olang halus bisa jaga dili...
oe udah tua. Mungkin sebental lagi oe mati” jelas Bak Wan yang susah payah
mengatur nafasnya yang tersengal. Penyakit asma yang dideritanya selama
bertahun-tahun rupanya sudah lelah menemani hidupnya.
Bak Wan adalah seorang pedagang yang
handal. Dulu, ia memulai karirnya dengan berjualan tepung terigu. Kemudian ia
bekerja disebuah perusahaan pemasok gandum terbesar pada jamannya. Dari sana,
ia bersahabat baik dengan pemilik, belajar bisnis dan akhirnya pelan-pelan
mulai membangun usahanya sendiri yakni, menjual bahan bangunan skala besar.
“Koh... jangan ngomong gitu dong, Tar
jadi sedih nih.. lagipula, Tar belum pernah sama sekali ketemu dengan Ihna Jong”
Tar berurai air mata.
“Tal.. lu bisa tanya sama Ci Amit. Dia itu
sodala sepupunya Ihna Jong. Pokoknya kalau lu ketemu dia, bilang, gua mau
ketemu. Gua mau bikin sulat walisan. Sekalang... lu liat gua udah payah, gak
bisa kemana-mana. Lagian gua gak punya nomel kontak Ihna Jong lagi.”
Tar mengangguk-angguk. Sebagai bentuk
baktinya pada Bak Wan, ia berjanji akan memenuhi permintaan itu. Sambil
mengusap pipinya ia bangkit, meraih tas, handphone kesayangan dan pamit pergi.
Setelah sebelumnya melepas senyum penuh kasih sayang yang amat sangat pada
orang yang telah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.
Hujan
mulai mereda.
Ternyata sepanjang perjalanan itu, ia
menemukan beberapa pos satpam yang disampingnya berdiri pohon besar. Tiba-tiba
saja ia jadi lupa bagaimana rupa pohon kapuk. Beberapa kali mencoba mengingat,
maka yang muncul adalah pohon-pohon yang besarnya sejenis, seperti pohon
manggis, dukuh, durian dan buah-buahan lainnya.
“Aduh, parah!” katanya seraya menggeleng-gelengkan
kepala yang tidak pusing. lagi, untuk kesekian kali ia mengingat beberapa pos
satpam yang telah dilaluinya. “Pos satpam pertama, pohonnya tinggi, tegak
lurus, bercabang-cabang. Pos kedua, pohonnya tinggi besar, agak hitam, daunnya
lebat. Yang ketiga... aduhh!!!” Tardulude semakin kacau. Rasanya saat ini ia
butuh sesuatu seperti peta Dora atau pintu kemana saja milik Doraemon.
Kakinya terus melangkah. Sebuah pos
satpam diujung jalan itu adalah pos satpam terakhir di sepanjang blok.
Sebuah plang besar terpampang melintang
diatas pintu gerbang besi. Desainnya didominasi oleh warna merah. Selaras
dengan warna cat rumah mewah didalamnya. Plang itu bertuliskan:
KONGKALINGKONG,Ltd.
Ihna
Jong
Jl.
Merana blok Ngumpet No.1
Tardulude mendapati seorang satpam
sedang tidur nyenyak. Disampingnya tergeletak dua mangkuk bekas mi ayam dan
satu botol sprite. Lelaki itu tidur mendengkur. Pakaiannya lusuh. Tak tega
membangunkan, Tardulude langsung masuk kedalam tanpa ragu.
Ting
tonggg... Tar menarik tali lonceng berpita merah. Dalam
benaknya bertanya-tanya, mengapa rumah sebesar dan semewah itu masih
menggunakan lonceng. Padahal, kalau dipikir-pikir, dengan memasang bel, maka
suaranya akan lebih merata keseluruh ruangan.
Hening.
Beberapa menit menunggu tanpa hasil.
Tardulude mulai bosan. Tali lonceng itu mulai ditarik-tariknya tanpa kendali
hingga suaranya bergaung-gaung dan talinya putus. Nyaris jantungnya hampir
copot. Mukanya pucat pasi, takut ketahuan. Tar memarahi diri sendiri karena kecerobohannya.
Klek klek. Pintu berukir gambar naga itu
terbuka pelan. Seperti mau menghadapi monster,
tubuh Tardulude membeku. Matanya tak berkedip menanti sosok yang dicari.
Sementara gemuruh masih menjadi backsound
ketegangannya sekarang.
Lelaki berperawakan besar dan tinggi
menatap Tardulude dengan sangar. Janggut panjangnya yang sedikit mengganggu
setiap kali tertiup angin, belum juga menyadarkan dirinya kalau lonceng yang
tergantung itu talinya putus.
“Siapa kamu?” katanya dengan suara berat
dan serak. Nadanya setimpal dengan gemuruh barusan.
“A...aku... Tar. Ma, mau cari... Ihna
Jong... ka, kamu siappaa ?!” muka Tardulude pucat pasi, putih seperti lobak,
nyaris tanpa darah.
“Aku LOWBATERE” jawabnya lagi, kini
dengan mata melotot.
“A,apa?? Lowbat??!!”
______________________________________________________________________________
Biodata Penulis
“Penulis yang memiliki nama pena Windflower ini, rupanya
cantik dan manis. Lahir di tanah betawi kurang lebih 28 tahun silam
(maunya sih 17). Meski banyak hobinya yang berhubungan dengan bidang
seni,salah satunya makan , tapi tidak meruntuhkan cita-citanya untuk
bisa jadi penulis yang baik dan suka menabung. Telah menerbitkan 4 buku,
diantaranya adalah antologi puisi bersama, dengan tema Bogor Kasohor
bersama Group Persahabatan Menulis. Kini, penulis yang akrab dipanggil
Windi ini sedang merampungkan novel ke-2 yang rencananya akan dipublish
dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. “
Hm... membingungkan....
ReplyDeletesetuju dengan rima, sebaiknya acer ini ga dipos di FBT... biar lebih privacy kita gitu.. coz ini kan proses belajar intern kita.. gitchuuu... :)
ReplyDeleteYang komentato diatas gak ada namanya kasi nama setelah komen dunk.. soal pendapat diatas... kok gue malah tebalik yah? (apa ke pedeaa??) yang jelas gue pengen ini di ekspos, kita pun butuh komentar orang lain. selain untuk improve tapi untuk mupuk percaya diri juga. belum ta' keluarin penulis2 aslinya. hehe
ReplyDelete:x :x :x
ReplyDelete...aku seperti melihat butir-butir berlian yang baru tergali dari tambang. Ingin rasanya kubawa pulang, kupotong dan kubentuk sedemikian rupa, hingga keluar kilau indahnya... ^_^
ReplyDeleteteruskaaaannnnn...