//Recent Comments Settings var numComments = 5; var characters = 60;

27 June 2012

LOWBAT (Part 6)


ACER Episode 1
Lowbat part 5 bisa di klik disini
Rain
Meja makan yang terletak di dapur  itu kecil saja. Walau mampu menampung 4 orang tapi tak pernah digunakan lebih dari mereka berdua. Rain kecil menatap punggung mamanya yang tengah mencuci piring. Sarapannya belum disentuhnya sedikit pun. Padahal itu adalah makanan favoritnya, omelet. Omelet buatan mama memang tak ada duanya. Telur yang dipukul pelan dimasak dengan api kecil memakai mentega. Kemudian potongan keju ditaburkan sesaat sebelum disajikan. Wangi  mentega dan lelehan keju yang menggantung dekat tampak tak mengusik fokusnya. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa orang tersayangnya itu baik-baik saja. Pagi tadi, tak sengaja ia melihat mamanya menangis sambil menatap foto orang itu.

Ia tak pernah tahu alasan kenapa orang itu pergi. Tapi mama selalu menangis. Mama tak pernah menjelekkan orang itu. Ketika ditanya, ia hanya menjawab kalau orang itu pergi bekerja. Namun itu bukanlah alasan yang cukup masuk akal. Mama adalah putri tunggal dari keluarga pengusaha yang cukup berada. Oma telah lama meninggal, sedangkan Opa, meninggal ketika Rain berusia 1 tahun. Jadi jelaslah kalau keuangan bukan alasannya.
Mama bisa saja memilih untuk tetap tinggal di rumah keluarganya. Tapi mama memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih kecil. Rumah besar itu menyimpan terlalu banyak kenangan untuk mama. Ia hanya ingin membesarkanku dengan tenang. Lalu jadilah rumah kecil ini istana kami yang baru.
Tak mudah untuk menjelaskan kondisi keluarga kami kepada tetangga yang kerap bergunjing. Kepada mereka, mama hanya berkata kalau ia bercerai dan sekarang dibiayai orang tuanya. Namun hidup sebagai janda tak pernah mudah. Masyarakat cenderung menganggap rendah posisi seorang janda. Sedangkan bagi Rain kecil, sangat sulit untuk menjadi anak yang berbeda dengan teman-teman seusia yang kerap membanggakan papa mereka. Oleh sebab itu mama memilih untuk menutup diri dari lingkungannya. Praktis, dunia Rain hanya diisi berdua dengan mamanya.
            Dua tahun pertama di sekolah dasar dilalui Rain dengan belajar di rumah alias  home schooling. Tapi atas dasar pertimbangan dari seorang psikolog, mama kemudian menyekolahkannya di sekolah umum. Rain tak pernah bergaul dengan orang lain selain mamanya. Sangat sulit bagi Rain untuk menjembatani perbedaannya dengan teman-teman sekolahnya. Belum lagi pertanyaan tentang orang itu. Rain menjadi anak yang pendiam dan sulit bersosialisasi. Namun ketika kelas 4 SD ia berkenalan dengan Tar dan dunianya pun berubah.
Tardulude
Nilam nama wanita Melayu itu. Sang ibunda memberikan nama itu agar nasib sang anak akan indah atau mewangi. Tapi sore itu Nilam menuntut arti namanya. Suaminya, Rojali, tertangkap berselingkuh dengan sepupu dari keluarga besar Ga. Siapa yang tidak mengenal Ga Je Bo dan Ga Ce Bok. Juragan kembar yang menguasai bisnis penyewaan tongkang di pelabuhan Tanjung Balai. Sakit hatinya tak terperi, terlebih sekarang ia tengah mengandung. Pastilah karena perempuan miang itu kerap melenggang ditempat usaha sepupunya yang juragan itu, dan menggoda para nelayan.
Bermaksud memberi pelajaran kepada suaminya, Nilam memutuskan kabur dari rumah. Dengan perut buncitnya, ia hanya membawa uang sekadarnya saja karena memang tak bermaksud kabur lama-lama. Baju telah ia titipkan ke tetangganya. Mana mungkin membawa banyak barang kalau sedang hamil besar begini. Bisa-bisa ia sudah dipulangkan ketika hendak keluar dari kampung nelayan ini. Cukuplah pergi sebentar dan membuat suaminya itu kalang kabut.
“Biar tahu rasa dia…!”, maki Nilam dalam hati. Benci betul ia pada orang Cina. Tak cukup ekonomi kampung nelayan itu yang mereka kuasai, sekarang suaminya pun mau diambilnya.
***
Sore yang satu itu membuat Bak Wan setengah yakin kalau Dewi Kwan Im membalas karmanya. Bagaimana pula ceritanya, dia yang tengah jalan santai sepulang tutup toko bisa berserobok dengan seorang perempuan Melayu bunting. Perempuan itu pucat dan jatuh terduduk di tepi jalan. Belum-belum ia sudah ditatap curiga oleh perempuan itu.
 “Ape kau tengok aje tu, Cine sengelet?! Nak tengok aku mati ke?” maki perempuan Melayu itu.
Sigap Bak Wan membantah, “Aih! Oe dah masok Islam, dah tak sengelet lagi”
“Ah, pandai sangat kau cakap. Sini bantu aku!”, perintah perempuan itu tanpa ampun. Padahal jelas-jelas Bak Wan orang asing yang lebih tua dari dirinya. Tampaknya, rasa sakit hendak melahirkan mampu menghapus jejak sopan santun dari mulut wanita itu. Atau jangan-jangan sejak lahir dia memang wanita penyiksa pria. Meski kesal, tak tega pula Bak Wan melihat wanita hamil besar itu. Dengan tergopoh-gopoh, Bak Wan menghampiri perempuan itu dan memapahnya.
Tak seperti senja biasanya, jalanan sangat lengang tanpa ada satu pun kendaraan yang lewat. Bak Wan mulai terengah-engah memapah wanita hamil itu, ketika akhirnya ada juga mobil bak terbuka berbelok dari persimpangan yang berada di depan mereka. Hampir seluwes anggota kapak merah, mereka menghadang jalan mobil itu.
“Hoi…. Tolong…! Tolong belhenti  kejab, tolong bantu ini pelempuan. Die olang dah nak belanak na.” ratap Bak Wan memelas.
Sang sopir yang terkejut membanting setir ke kiri, hingga nyaris saja mobilnya tergelincir ke semak-semak yang berada di tepi jalan. Masih deg-degan, si sopir mencoba mencerna modus pasangan aneh yang mendekati mobilnya itu. Nyaris tak percaya kalau melihat wajah garang si perempuan, tapi tak tega melihat nafas Bak Wan yang nyaris putus menopang tubuh penyiksanya. Jadilah mereka berdua berhimpitan disamping pak sopir yang melirik curiga. Ah, ini pasti salah satu pasangan yang tak direstui itu, perempuan Melayu muda dengan seorang lelaki Cina tua. Sang sopir menebak-nebak dalam hati.
Mobil itu pun dikebut ke rumah bidan terdekat. Tapi tak dinyana, si jabang bayi memutuskan lain. Tampaknya tak cukup sang ibu yang saja yang membuat suasana hidup dua pria asing itu gelap. Sang bayi ingin ikut ambil bagian pula.
“Aduuuuuuuhhh! Dah nak kelua ni” ratap sang perempuan mencekam.
Dengan panik Bak Wan mencoba bernegosiasi, “Tal dulu de, tal dulu de, tal dulu de. Loe tahan sikit lagi.”
Sang sopir yang ngebut -dengan keringat yang bercucuran segede-gede jagung- berpikir dengan membagi fokusnya antara menendang para penumpang barunya dan menemukan bidan secepatnya. Akhirnya pertolongan itu pun datang. Sebuah rumah bercat putih dengan palang bertuliskan Bidan Royani.
Tepat ketika mobil itu direm, pecah jerit histeris Bak Wan. Jeritan tinggi yang mengiris dan membuat bulu kuduk berdiri. Selamanya jerit itu akan menghantui sang sopir. Rupanya sang jabang bayi telah lahir. Beruntung Bak Wan segera menyambut bayi itu sebelum melecat kekolong mobil.
Dengan terisak menahan ngeri, Bak Wan complain, “Oe kan udah bilang, tal dulu de…”
Hampir seperti terbang, sang sopir membuka pintu mobil dan menyerbu masuk mencari sang Bidan. Ibu dan bayi tersebut dibawa masuk setelah ari-ari bayi dipotong. Namun malang tak dapat ditolak, perempuan Melayu yang ternyata penderita darah tinggi itu  mengalami pendarahan yang cukup berat sehingga tidak dapat diselamatkan.
***
Sungguh sedih hati Rojali yang mengetahui istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka. Tapi itulah yang didapatnya karena berani bermain api. Ketika perselingkuhannya terbuka, keluarga Ga menuntutnya untuk menikahi Ga Ba Nget. Rojali tidak mempunyai pilihan lain. Kalau ia berani macam-macam, juragan kembar Ga Je Bo dan Ga Ce Bok pasti tidak akan melepaskannya. Kalau sudah begitu, apa lagi yang dapat dilakukannya untuk bertahan hidup sebagai nelayan.
Setelah mereka menikah nanti, keluarga Ga akan mengasingkan mereka ke Samarinda. Mau bagaimana lagi, pernikahan antara Melayu dan Cina merupakan aib di daerah mereka. Belum lagi perbedaan status sosial keluarga juragan dengan nelayan sederhana. Demi menutup aib itu, keluarga Ga menanggung seluruh biaya pernikahan dan memberi modal Rojali membuka toko di Samarinda.  Tapi ada satu masalah lagi yang mengusik pikiran Rojali. Apa yang akan ia lakukan dengan anaknya yang masih bayi merah itu. Ga Ba Nget tak sudi merawat anak dari istri tua suaminya.
***
Bak Wan yang terseret-seret masalah tak setega sang sopir yang kabur begitu sang perempuan diangkat ke dalam rumah bidan. Ia ikut mengantarkan sang bayi ke keluarganya. Lalu ia berkenalan dengan sang ayah jabang bayi, Rojali. Dilihatnya wajah Rojali  yang kusam, dan ia pun jatuh kasihan. Ia pun bersimpati terhadap masalah yang dihadapi oleh Rojali. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, yang jelas sang bayi membutuhkan rumah untuk tumbuh dan menerimanya apa adanya. Bak Wan kemudian menawarkan dirinya dan meminta izin kepada keluarga Rojali untuk mengangkat sang jabang bayi jadi anak angkatnya. Begitu keluarga Rojali tahu kalau Bak Wan seorang muslim,  mereka pun mengizinkannya.

Bak Wan
Bak Wan adalah seorang Tionghoa yang sangat lemah lembut, baik hati maupun tingkah lakunya. Keluarganya hampir yakin kalau ia adalah titisan kasim. Namun kecurigaan itu langsung berubah menjadi murka ketika ia kedapatan menjalin cinta dengan Sarah anak Haji Melur. Kedua keluarga sama-sama tak merestui hubungan cinta mereka. Beda agama dan beda suku pula. Dengan berat hati, Sarah memutuskan cintanya dan kemudian dijodohkan oleh ayahnya dengan Hamzah anak dari teman ayahnya. Tak lama kemudian Sarah pun diboyong ke Yaman tempat keluarga Hamzah.
Bak Wan sangat terpukul dengan kepergian Sarah. Bahkan sekarang bayangnya pun tak dapat dilihatnya. Dikais-kaisnya kenangan bersama Sarah, gadis cantik Melayu-Arab. Dia beda dari gadis-gadis Tionghoa yang pernah dilihatnya. Kerudung dan matanya yang besar, serta tutur katanya yang halus bagai alien yang menjawab seluruh harapan Bak Wan. Bak Wan pun mulai mempelajari Islam, agama Sarah. Ia ingin mengetahui segala sesuatu tentang Sarah. Islam-lah kepingan terakhir tentang Sarah.
Namun, sungguh tak disangka ia menemukan kedamaian didalam Islam, hingga akhirnya memutuskan untuk masuk Islam. Keputusannya yang frontal ini membuat keluarganya kecewa. Berbagai hal mereka lakukan untuk mengembalikan Bak Wan dalam keluarga mereka, tapi gagal. Puncaknya, ketika keluarganya memutuskan untuk membuang Bak Wan dari kalangan mereka. Semua akses ekonominya diputus. Jadilah Bak Wan merangkak membangun usahanya dari awal.
Usia Bak Wan tak muda lagi ketika mengangkat Tardulude Binti Rojali. Hidupnya mulai terasa lengkap, meski tak pernah menikah. Kehadiran Tardulude dalam hidup Bak Wan juga bagai pengundang rizki yang berkah. Usahanya berkembang, kondisi ekonominya jauh membaik setelah anak itu datang.
Bak Wan menyayangi Tardulude seperti anaknya sendiri. Namun Islam melarangnya menyembunyikan nasab. Sedari dini, dia jelaskan keadaan sebenarnya. Dididiknya Tar menghormati ayah dan ibu tirinya, serta menyayangi adik-adiknya. Setiap libur sekolah, dikirimnya Tar ke Samarinda demi menunaikan bakti pada ayah kandungnya.
***
Rain & Tardulude yang lalu
Anak baru yang katanya perempuan itu, dipaksa guru untuk duduk di sebelah Rain. Kalau tidak melirik rok-nya, Rain yakin ini pasti anak cowok yang hobi ngebuli. Rambut yang awut-awutan, suara ingus yang sesekali ditarik terasa sangat ‘jalanan’ bagi Rain. Kalau biasanya anak perempuan itu pasti terlihat manis, teman barunya ini pengecualian. Pada awal berkenalan, setiap pertanyaan Rain hanya dijawabnya dengan dengusan. Sampai-sampai Rain yakin ada bahasa dengus.
Tapi entah mengapa, semenjak itu, hari-hari Rain terasa lebih mudah. Mungkin karena semua gosip telah beralih kepada si anak baru. Mungkin juga karena anak-anak yang sering membulinya tak berani mendekat karena si anak baru mengekorinya kemana pun-kecuali kamar kecil. Bahkan, dia juga berkenalan dengan mama Rain. Karena dia satu-satunya anak yang mengikuti Rain setiap pulang sekolah. Dasar anak aneh.
***
            Ini adalah hari pertama Tar di sekolah barunya. Bisnis Bak Wan kini sudah besar, dan dia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Baik untuk bisnis Bak Wan maupun untuk masa depan Tar, Jakarta menawarkan lebih banyak kesempatan daripada Tanjung Balai. Bagi Tar kecil yang hanya mengenal pasar Tanjung Balai sebagai tempat paling ramai, Jakarta terasa begitu bising sekaligus menantang.
Tar sempat bengong sebentar ketika guru menyuruhnya duduk disebelah anak yang katanya cowok. Kalau tidak melirik celananya, Tar yakin ini pasti anak cewek yang hobi berdandan. Rambut pendeknya yang agak kepanjangan dan tertata rapi, suaranya yang halus terasa sangat ‘kastil’ bagi Tar. Kalau biasanya anak lelaki itu pasti terlihat seperti ‘cari masalah’, teman barunya ini pengecualian. Pada awal berkenalan, setiap pertanyaan anak itu hanya mampu dijawabnya dengan dengusan gugup karena merasa sangat senang mendapat teman baru. Sampai-sampai Tar yakin dialah penemu bahasa dengus.
Tapi entah kenapa, semenjak itu  hari-hari Tar terasa lebih mudah. Mungkin karena ‘efek artis’ dari semua gosip yang tertuju padanya. Mungkin juga karena ia mendapat teman baru yang cantik, eh, tampan. Mereka selalu bersama-sama kemana pun-kecuali kamar kecil. Bahkan dia juga berkenalan dengan mama temannya itu. Seorang teman yang baik kan harus tahu dimana rumah temannya. Ibu temannya itu sangat cantik, Tar tidak pernah mengenal ibu kandungnya. Betul-betul anak yang beruntung.
***
            Saat itu tahun terakhir di SMA, mama meninggal. Jantung mama memang lemah. Bahkan bisa memiliki anak pun merupakan mukjizat bagi beliau. Itulah yang selalu mama ceritakan setiapkali beliau ingin mengungkapkan betapa berharganya Rain baginya. Rain berharap mukjizat datang lagi, atau setidaknya membangunkan dirinya dari mimpi buruk ini. Penyakit mama sempat kambuh beberapa kali sebelumnya dan dibawa ke rumah sakit, namun beliau tidak kunjung membaik.
Setelah acara penguburan yang singkat, Rain harus disibukkan dengan surat-surat wasiat dan peralihan kekuasaan perusahaan Opa yang diwariskan kepada mamanya, dan kini kepadanya. Rain melakukannya bagai robot tanpa rasa. Satu hal yang diinginkannya adalah selesainya segala urusan yang riuh ini, dan kembali menyendiri.
 Kehilangan itu sungguh terasa tidak nyata. Sepanjang hidupnya, mamalah segalanya bagi Rain. Satu-satunya gerbang mengenal dunia, satu-satunya pintu mengenal bahasa cinta. Tanpa mama, entah bagaimana caranya menjalani hari-hari nanti. Rain merasa lumpuh sekaligus buta seketika. Kalau ada rasa yang masih bisa dia beri nama, itu adalah hampa.
Hanya Tar yang setia mendampingi selama penguburan ibunya. Sekarang pun Tar menungguinya menandatangani segala pernak-pernik perusahaan. Wajahnya murung, dan matanya tak lepas memandangi punggung Rain dengan khawatir. Rain membiarkan Tar mengikutinya. Ia sudah kehilangan selera untuk berahasia tentang siapa dirinya.
Tar yang sekarang, sudah jauh berubah dibandingkan Tar kecil teman sebangkunya dulu. Rasanya tak percaya kalau mengingat bagaimana rupa Tar ketika mereka pertama kali bertemu. Sekarang rambut Tar tidak lagi awut-awutan seperti dulu. Rambutnya tertutup rapat dibalik jilbab. Dia juga jauh dari kesan tomboy. Rain tak pernah mengatakan ini, tapi harus diakui bahwa Tar telah tumbuh jadi remaja yang cantik.
Perubahan anak bengal jadi gadis jelita itu tak berpengaruh nyata pada hatinya. Tar tetaplah sahabatnya yang tulus dan selalu mengikutinya kemana pun. Seperti sekarang, wajah Tar lah yang paling dirundung duka di ruangan yang penuh dengan kepentingan dan keuntungan ini.
Saat kembali ke rumah yang kosong, tanpa mama yang menyambut, kesedihan Rain pun pecah. Selama penguburan tadi, ia seperti mayat yang tidak mempunyai rasa. Tapi ketika otaknya telah terhubung dengan semua kenyataan, ia pun tersadar. Mama tidak akan pernah dapat dilihatnya dan menemaninya lagi. Ia pun mencari sisa-sisa mamanya disemua sudut rumah mereka. Kemudian, ia masuk ke kamar mamanya dan tertidur dalam lemari built in bersama semua baju dan sepatu mamanya. Perpaduan aroma pakaian, parfum, dan sepatu mamanya membuatnya merasa seakan mama masih ada di rumah itu. Sakit di hatinya sedikit terbalut ketika aroma itu menipu otaknya.
Tiga hari tidak masuk sekolah Rain banyak berfikir tentang hidupnya. Ia memaki orang yang tak pernah datang itu. Bahkan ketika pemakaman mama. Mama meninggal membawa cintanya pada orang itu. Tak hanya mama, tapi setiap teman perempuannya yang berpacaran pun dengan bodohnya percaya dengan janji-janji dari kekasihnya. Kenapa wanita begitu lemah? Rain sangat ingin mama bahagia dan melupakan orang itu. Tapi tak ada lagi tempat untuk membuktikan itu. Mama telah pergi. Kini dia sendiri, benar-benar sendiri.
Rain duduk di depan kaca rias mamanya dan mengoleskan lipstik di bibirnya yang kecil. Lalu ia membalutkan syal dilehernya. Ia tercenung menatap wajah di dalam cermin itu. Ia memang sangat mirip dengan mama. Di sekolah, walaupun banyak penggemar wanitanya, tak jarang ia diejek banci oleh teman-teman prianya. Tar yang selalu mengusir mereka. Tapi Tar malah sering dikerjai murid-murid perempuan, yang entah bagaimana merasa cemburu pada Tar. Yang benar saja mereka itu. Rain hanya memanfaatkan keadaan. Apapun itu, tak masalah, asal kehidupannya di sekolah lebih nyaman. Harus ia akui, ia memanfaatkan Tar. Tar adalah sahabatnya yang tulus, sayang dirinya tidak seperti itu.
Rain memutuskan ia akan menjadi mama. Ia akan buktikan cara yang paling baik dan bahagia dalam mencintai. Ia akan jadi wanita. Ia akan tunjukkan pada dunia bagaimana caranya wanita menang dalam cinta. Dia akan buktikan itu. Mungkin dengan begitu Tar sahabatnya yang biasa saja itu dapat belajar dan memenangkan cintanya. Menurut Rain, Tar jenis yang lebih sengsara lagi. Bagaimana tidak, rasanya cinta enggan hinggap atau sekedar lewat dalam hidup sahabatnya itu. Seumur hidupnya, tidak pernah ia melihat Tar ngeceng atau sekedar naksir pada pria manapun. Mungkin inilah satu-satunya hal baik yang dapat ia lakukan pada Tar.
***
Sehari setelah lulus SMA, Rain mengajak Tar bertemu. Tar senang bukan kepalang. Mana pernah sahabatnya itu meminta bertemu. Selalu dia yang merengek, memaksa atau tiba-tiba saja datang. Kalau Tar tahu apa yang menantinya, ia lebih memilih untuk tidak datang atau sekalian melupakan persahabatan mereka. Sayangnya Tar tidak tahu itu…
Anehnya, pintu depan tidak dikunci. Tar memanggil Rain dari pintu depan. Rain menyahut dan menyuruhnya masuk. Agak canggung juga rasanya. Mereka sama-sama telah dewasa dan tak ada orang lain dirumah itu selain mereka. Terakhir kali ke rumah itu ketika Tar mengantarkan Rain pulang setelah tanda tangan waris di hari pemakaman mamanya. Tar duduk rapi menghadap TV dan sesekali mengayunkan kakinya dengan canggung.
“Tar..”, panggil Rain.
Reflek, Tar menoleh kebelakang. Jantung Tar terkesiap ketika melihat orang yang memanggilnya itu.  Seseorang yang sangat mirip dengan mama Rain, lengkap dengan busana dan make up beliau. Bahkan aroma parfumnya juga sama persis dengan mama Rain. Tapi tentu saja orang yang sudah wafat tak mungkin hidup lagi. Jadi orang ini adalah…?
“Aku memutuskan untuk jadi wanita”, ucap Rain lagi.
Sesuatu didalam dada Tar tiba-tiba terasa sakit. Ia tak pernah ingat pernah merasa sakit seperti itu.
“Aku akan melanjutkan sekolah di Perancis. Cuma 2 tahun sih. Aku ingin mendalami design. Doakan aku ya.”
Rain menghidangkan minuman dan bercerita tentang rencana-rencananya. Berangkat ke Paris beberapa hari lagi, pulang dua tahun lagi, dan meraih impiannya jadi desainer terkenal. Sesekali, Rain memperbaiki posisi rambutnya, mengibaskan tangan, atau sekedar mengusap keringat dengan tisu. Benar-benar mirip dengan almarhumah mamanya.
Tar membisu, mencoba mencerna semua yang terjadi. Kata-kata Rain hanya tertangkap sepenggal-sepenggal di otaknya. Tar terlalu sibuk terpesona. Sahabatnya itu terlihat seperti orang lain. Dia terlihat luwes dan nyaman dengan dirinya. Bahkan dia sangat cerewet sekarang. Sepertinya, kepribadiannya pun ikut berubah. Tar tidak kenal dengan orang asing ini. Orang ini bukan sahabatnya yang dulu. Sesuatu di dada Tar terasa tersayat.
“Mulai sekarang jangan lagi panggil aku Angga, panggil aku Rain ya. Kedengarannya lebih modern gitu.”,  kata Rain sambil menatap lekat sahabatnya.
“Rain..”,  mata Tar menghindari tatapan Rain. Ini terlalu sulit untuknya.
“Nah begitu dong. Aku lega banget ada orang tempat aku berbagi ini. Aku tahu Tar pasti mengerti aku.”
Tar pamit ke kamar mandi. Air matanya tak terbendung lagi. Dia bahkan tak tahu apa nama perasaan ini. Hanya sesuatu yang perlahan terasa semakin menyesakkan, hingga di satu titik, ruang di dalam dadanya tak sanggup lagi menampungnya. Ini Angga-nya, sahabat kecil yang menemaninya mendewasa. Seseorang yang kepadanya bahkan Tar tak perlu curhat apa pun untuk bisa dipahami. Saling mengerti begitu saja. Mereka berdua seperti punya bahasa yang jauh melampaui kata-kata. Semua orang boleh datang dan pergi dalam hidupnya. Tapi tempat di hatinya hanya cukup untuk menampung dua nama: Bak Wan dan Angga. Lalu, kini tiba-tiba dia jadi…. Rain? Kiamat serasa datang dipercepat.

***
            Tar pulang dengan perasaan yang linglung. Semua terjadi begitu cepat. Lusa ia harus mengantar ‘Rain’ ke bandara. Pasti ada yang dapat ia lakukan untuk sakit hatinya ini. Setelah semalaman dirudung gelisah, ia harus bertemu dengan Rain sekali lagi dan menegaskan sikapnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tar mengunjungi rumah Rain. Pintu rumah Rain digedornya dengan tak sabar. Dari dalam rumah terdengar langkah yang diseret. Tak lama wajah ‘Rain’ yang masih mengantuk muncul dari balik pintu. Terlihat cemberut setelah tahu siapa penyebab keributan di pintu depannya.
“Apa lagi? Kamu tu kaya jelangkung ya Tar.Datang tak diundang pulang tak diantar. Sehari sebelum pergi masih juga kamu hantui aku. Aku kan butuh istirahat Tar”, sembur Rain -yang tak suka tidurnya terganggu-  pada Tar yang masih setengah mangap mau membela diri.
“Aku mau bicara sesuatu juga sama kamu. Boleh aku masuk?”, tanya Tar ketika melihat Rain menarik nafas untuk bicara lagi.
Tak menunggu jawaban Rain, Tar masuk ke rumah itu. Dengan wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca, ditatapnya Rain yang kebingungan. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Tar membuka kerudungnya. Lalu ditariknya karet rambutnya, dan dengan perlahan diuraikannya rambut hitam sebahunya itu.
“Karena kamu memilih jadi wanita..” ucap Tar terbata
Tar segera berlalu dari hadapan Rain dan mengenakan jilbab seadanya sebelum melewati pintu depan. Tar merasa dirinya pasti sudah gila. Dosa itu dilakukannya tanpa sanggup ia sangkal lagi. Hatinya sakit tanpa dipahaminya mengapa. Tar berlari sekencang-kencangnya, seakan dengan begitu kepedihannya bisa terbang dan berjatuhan seperti bulir-bulir airmatanya. Tapi tidak. Rongga dadanya masih saja terasa sesak.
***
Rain masih berdiri kaku sesaat ketika pintu depan dibanting. Kemudian ia terduduk lemas. Tar melepas jilbabnya karena ia memilih jadi wanita. Jadi bagi Tar, sekarang dia adalah wanita. Mestinya Rain bahagia. Tar-nya menerima dan memahami pilihan hidup yang diambilnya. Tapi airmata itu, tak lepas dari benak Rain. Bertahun-tahun mengenalnya, tak pernah sekalipun dilihatnya Tar menangis. Apakah pilihan ini menyakitinya?
Rain memegang dadanya. Ini apa? Rasanya tidak nyaman. Tapi bukan kesakitan seperti ketika mamanya tiada. Sepertinya jantung bekerja lebih keras daripada biasanya. Bunyi detaknya terasa memekakkan telinga. Sesuatu menyesak, terasa ingin meledak. Rain berlari menaiki tangga. Dari atas atap, dia berteriak sekuat tenaga. Ah, inilah rupanya yang dirasakan serigala saat melolongi purnama…
***
“Nah Tar, sekarang kau bisa belajar dewasa. Sekarang kau tidak bisa mengikutiku lagi.”,  kata Rain ketika Tar mengantarkannya ke bandara.
Ia mencoba menghapus pertemuan aneh mereka kemarin dari benaknya. Syukurlah, Tar memakai jilbabnya dengan rapi kali ini. Tar hanya diam menanggapi ocehan Rain.
Ah, Tar memang aneh akhir-akhir ini. Dia bukan Tar yang dulu. Tar yang cerewet dan nyaris tanpa malu. Rain lebih suka pada Tar yang dulu. Dia bisa melakukan apapun dan Tar yang dulu pasti akan tetap setia padanya.
***
“Bagaimana kau meminta akhir pada yang tak berkesudahan?”, ucap Tar lirih sehingga hanya dapat didengar oleh Rain, “Mungkin sudah nasibku selamanya mengikutimu”
Kecerewetan Rain mendadak sirna. Dia kehilangan semua kosakata yang mungkin digunakan untuk menjawab kalimat sahabatnya.
“Aku pergi..”,  hanya itu yang mampu dikatakan Rain.
Rain berlalu meninggalkan Tar. Tepat di depan pintu pemeriksaan gerakannya melambat dan berhenti. Rain ingin membalikkan tubuhnya tapi ditahannya kuat-kuat rasa itu. Lalu ia pun melewati pintu pemerikasaan dan segera antri untuk check-in, tanpa menoleh ke arah Tar sedikit pun.
                                                                        ***       
Tar hanya mampu menatap punggung Rain yang menjauh lalu menghilang. Tiba-tiba pandangannya menjadi lamur. Tar menangis…

Rain & Tar yang sekarang
            Rencana kepergian Tar ke Samarinda cukup mengguncang Rain. Dia teringat perpisahannya dengan Tar waktu dia ke Perancis. Entah apa yang menyebabkan mereka pada hari itu begitu mabuk. Telah 5 tahun sejak ia kembali ke tanah air. Tar menunda kuliahnya selama 2 tahun karena merawat Bak Wan yang sakit parah. Sekarang, Tar harus mencampakkan cita-citanya demi merawat Baba-nya di Samarinda.        
            Rain selalu melakukan hal yang dia inginkan tapi Tar selalu mendahulukan orang lain di atas kepentingannya. Rain ingin melakukan sesuatu untuk Tar. Dia teringat akan desain clutch terbarunya. Ponsel jenis terbaru kadang kala justru membuat kita sulit untuk berkomunikasi. Pasalnya, ponsel tersebut terlalu banyak menanggung fitur yang memperberat kinerjanya. Walhasil, baterainya sering drop alias lowbat.
Untuk menggantinya pun bukan solusi cepat dan tepat karena bisa jadi kita sangat membutuhkan fitur-fitur yang ada didalamnya. Contohnya saja masalah Tar yang suka meminjam ponselnya. Tentunya itu sangat menyulitkan Tar yang tidak bisa menggunakan ponselnya secara optimal. Bisa-bisa telfon atau pesan darinya akan tertunda sampai ke Tar.
Desain clutch barunya ini harus mampu menyimpan beberapa baterai cadangan dan charger. Harus mudah diakses, tidak baggy, dan yang terpenting adalah tetap fashionable. Rain ingin memberikan clutch buatannya itu kepada Tar. Desainnya ini tak mungkin salah. Dia tahu warna kesukaan Tar dan selera Tar. Jadi dia harus segera merampungkan prototipenya malam ini karena Tar akan berangkat penerbangan besok pagi. Untuk desainnya kali ini, ia menamakannya Lowbatt-Antidote.
Sebentar. Benar-benarkah ini dia lakukan untuk Tar? Tampaknya tidak juga. Ini untuk kepentingan dirinya sendiri. Rain tak ingin putus komunikasi dengan Tar. Setiapkali dihubungi, Tar akan menjawab tanpa ada alasan lowbat. Ah, memang sulit berhenti egois dan benar-benar tulus melakukan sesuatu untuk orang lain. Kali ini, untuk Tar, semua harus dilakukannya sendiri. Mulai membuat pola, menjahit hingga memasang pernik terdetilnya. Tak ada seorang pun asisten yang boleh membantunya. Ini harus menjadi sebuah kado istimewa.
Namun sayangnya, belum lagi selesai menggambar pola, Rain merasakan perutnya melilit tak terkira. Oh, lontong-tahu-bakwan sialan itu mulai bekerja, justru di saat-saat penting begini….!
***
Hari itu adalah hari tersial Rain selama hidupnya. Dimulai dari menerima usulan Tar untuk ber- Go Green. Memakai angkot dan mengistirahatkan mobilnya dalam garasi. Katanya, cowok-cowok eksekutif muda lebih tertarik pada cewek-cewek yang melek lingkungan. Kepanasan sampai make up-nya luntur, diliatin orang seangkot, belum lagi digesek-gesek bapak-bapak aneh. Baru kali ini ia merasa begitu sengsara dan dilecehkan. Tanpa bisa menuntut atau protes. Rain mengingat-ingat untuk memesan stuntgun dari sebuah web yang direkomendasikan jejaring sosialnya.
Lebih dari Lowbat-Antidote, tampaknya Rain lebih membutuhkan cepirit antidote. Ini pasti karena ia makan Lobat, lontong bakwan tahu bareng Saebani. Seumur hidup baru pertama kali ia makan di pinggir jalan seperti itu. Memang dasar Saebani, pantas saja dia belum dapat pacar. Masa orang semanis Rain diajak makan dipinggir jalan. Gimana yang jelek? Diajak mancing kali.
“Ku kutuk kau Saebani, jomblo karatan…!”,  maki Rain dalam hati.
Tapi Rain senang juga, karena Saebani adalah satu-satunya orang yang memperlakukannya dengan tidak istimewa. Lebih tepatnya memperlakukannya seperti teman cowok. Ih, temen cowok apa sih yang dipikirkannya. Rain merinding sendiri membayangkan dirinya kongkow-kongkow ala masteng bareng Saebani.
Saat sedang sekarat di kamar mandi, Rain malah teringat pada Smile sang Manager Pemasaran alias Ismail sang retail cendol. Ingin rasanya ia memaki dirinya sendiri yang begitu buta. Jelas-jelas bedanya bak bumi dan langit, bintang dan pasir, madu dan racun. Tapi entah mengapa otaknya tak mau bekerja waktu itu.
Mendadak, Rain tertawa tergelak. Bukan, bukan menertawakan Mail. Rain menertawakan dirinya sendiri. Bukankah dirinya juga palsu? Malah saking ahlinya memalsukan diri, sampai Mail pun belum tahu identitas aslinya. Tidak juga Saebani. Atau siapapun di sekelilingnya. Sepulang dari Perancis, Rain benar-benar memulai hidup baru di lingkungan baru. Tak ada yang tahu.
Kecuali Tar. Ya, Tar-nya yang teristimewa dan satu-satunya. Sejak Rain masih bocah lelaki ingusan, remaja tanggung yang krisis identitas, hingga kini menjadi ‘wanita’ mapan, Tar tak pernah berubah. Selalu ada untuknya, menjadi pendengar pertama cerita-ceritanya, tempat sampah segala keluh kesahnya. Menjadi energi setiapkali jiwanya lowbat, mengingatkannya sholat lima waktu, menjaganya dari kejamnya dunia fashion yang glamor.
Bahkan, hanya Tar yang tahu mengapa Rain menolak segala macam pekerjaan setiap hari Jumat. Pada hari itu, satu-satunya hari dalam seminggu, Rain menghilang. Angga-lah yang mengambil alih, berbaur dengan ratusan pria di masjid. Tak ada Rain sang desainer jelita. Tak ada si sosialita papan atas dunia mode. Hanya seorang hamba Allah yang selalu merindukan-Nya.
Sambil mengusap airmata, Rain mulai menjahit di ruang kerjanya. Mengenang segala yang telah dia lalui bersama Tar selama ini. Bertahun-tahun lalu, takdir telah mempertemukan bocah lelaki tak berayah dan gadis kecil tak beribu. Setelah ini, ke manakah kiranya takdir akan membawa mereka berdua?

                                                             (…bersambung…)       
Tentang penulis
Pada sebuah kala ketika kalam tak bisa menyebut asalnya, ia meminta nama. Tulis adalah dunia baru cara ia berkata. Wujudnya tak ingin terkait fana. Ia hanya pengujar fikir yang terbata. Jadilah ia si pemaksa.
            Malam itu kabut membisikkan sebuah nama. Telah lama juga ia membisikkan kata-kata yang menepuk tanya. Tapi tak satu pun diangkat untuk mempertuankannya. Beruntunglah, kali ini ia datang membawa satu yang lain. Lalu ku robek ia dari tafsir dan menjadikanya penaku –Diandra Rasyid.
           
Co-writer
Daun Agathis is a fulltime dreamer, life-lover and writer wannabe. Please follow me on twitter @daun_agathis

7 comments:

  1. Salut sama Dolyna. Ditengah krisis, tidak melumpuhkan kekuatan menulis muh.. tapi... tampaknya pada awal hingga nyaris setengah sambungan cerita, lebih cocok jadi awal cerita ya, (alias part 1) nah baru deh,,, flash back na disisa cerita. ^^ just comentato... ^^Membaca cerita mu seperti membaca ulang laskar pelangi. Karakternya mendekati. That’s good, bisa dijamin novel mu nanti bisa setebal buku tafsir ibnu katsir.
    Hm.. buat yang mau nyambungin cerita, semangat yah... 15 halaman full loch... ^^

    ReplyDelete
  2. Terimakasih jeng, menurutku, boleh banget tuh sarannya. By the way saya belum pernah membaca novel Laskar Pelangi.
    Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk co writer saya yang sabar dan penuh ide. Segeralah menjadi penulis wahai Daun Agathis. Biar aku yang merawat Eru Kero..

    ReplyDelete
  3. Jejeje... kloning dimana karah?? heuws Eru Kero ? nama apa? mesin waktu? kucing buatan atau...??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eru Kero itu ciri-cirinya cakep, murah senyum. Tapi sayang sampai sekarang dia belum memilih, mau jadi cewek atau mau jadi cowok dengan kata lain Eru Kero itu galau.

      Delete
  4. You know, I was very moved reading the last verse writing. Really, you are very talented in developing the story. One hundred percent happy with your story further. I like your version of Rain

    ReplyDelete
  5. Thankyou to you too for creating Rain character on the first place :D. He just such adorable character to expand with XD.

    ReplyDelete